Rabu, 18 Maret 2020

Ini Perbedaan Perkumpulan Berbadan Hukum vs Tak Berbadan Hukum

Kita mengenal berbagai bentuk organisasi dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari asosiasi, himpunan, atau ikatan. Organisasi tersebut bergerak dengan kekhususan mulai dari kegiatan keagamaan, budaya, sosial, sampai bisnis. Namun sebenarnya, lembaga-lembaga tersebut mengambil bentuk yang sama di mata hukum yakni bentuk perkumpulan.
Sistem hukum di Indonesia mengenal dua macam bentuk perkumpulan, yaitu perkumpulan berbadan hukum dan perkumpulan berbadan hukum. Serupa tapi tak sama, keduanya sama-sama memiliki legalitas dan diakui oleh Pemerintah. Masih banyak juga sebagian dari kita yang masih bingung akan perbedaan dari keduanya. Apa saja perbedaannya? Simak uraian berikut ini.

Aturan Hukum

Pada dasarnya, baik perkumpulan berbadan hukum maupun perkumpulan tak berbadan hukum masih tetap tunduk pada ketentuan yang ada di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Selain itu, keduanya juga tunduk pada ketentuan yang ada pada Staatsblad Nomor 64 Tahun 1870 beserta peraturan-peraturan perubahan dan turunannya selama belum diganti atau dihapus.
Akan tetapi, perkembangan hukum pada masa sekarang membuat keduanya juga memiliki dasar aturan yang berbeda. Khususnya aturan mengenai tata cara pendiriannya. Untuk perkumpulan berbadan hukum, tata cara pendiriannya tunduk pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2016. Sementara tata cara pendirian perkumpulan tidak berbadan hukum diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2017.
 Bentuk Hukum
Perkumpulan tidak berbadan hukum pada dasarnya hanya sebuah perikatan dasar. Perkumpulan tersebut hanya merupakan sebuah kontrak yang dilakukan oleh para pihak tanpa para pihak mentubuhkan perikatan hasil kontrak tersebut ke dalam suatu subyek hukum yang mandiri.
Sementara dalam perkumpulan berbadan hukum, perikatan yang dilakukan melahirkan satu subyek hukum baru, yaitu perkumpulan berbadan hukum.

Bentuk Tanggung Jawab

Perkumpulan berbadan hukum dapat bertindak untuk dan atas namanya sendiri karena merupakan subyek hukum. Akan tetapi, karena sifat badan hukum yang merupakan konsep abstrak, maka pada kenyataannya kemampuan perkumpulan berbadan hukum untuk bertindak diwakilkan oleh para pengurusnya atau salah seorang yang diberi kuasa khusus untuk urusan tertentu.
Sementara perkumpulan tak berbadan hukum tak dapat bertindak untuk dan atas namanya sendiri karena bukan subyek hukum. Jika perkumpulan tak berbadan hukum ingin melakukan suatu tindakan tertentu, maka para pengurus perkumpulan semuanya harus turut bertanggung jawab dalam sistem tanggung jawab tanggung renteng.

Kemampuan Tindakan Perdata

Perkumpulan berbadan hukum memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan perdata. Perkumpulan berbadan hukum dapat melakukan perjanjian, jual-beli, sewa-menyewa, dan berbagai macam tindakan keperdataan lainnya selama masih dalam lingkup kepentingan perkumpulan berbadan hukum. Tindakan tersebut dilakukan untuk dan atas nama diri perkumpulan berbadan hukum sendiri.
Sementara itu, perkumpulan tidak berbadan hukum tak dapat melakukan tindakan keperdataaan apapun, meskipun para pengurus perkumpulan tak berbadan hukum mampu dan mau untuk bertanggung jawab secara tanggung renteng sekali pun.

Registrasi Perkumpulan

Perkumpulan berbadan hukum diregistrasi sekaligus dimintakan status badan hukumnya kepada Kementerian Hukum dan HAM. Hal tersebut dapat dilihat dari diaturnya perkumpulan berbadan hukum dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM. Perkumpulan berbadan hukum didaftarkan melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) dengan bantuan Notaris.
Perkumpulan tidak berbadan hukum diregistrasi kepada Kementerian Dalam Negeri. Hal tersebut dapat dilihat dari diaturnya perkumpulan tak berbadan hukum dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Perkumpulan tidak berbadan hukum didaftarkan melalui Sistem Informasi Organisasi Masyarakat (SIORMAS) dengan bantuan Notaris.

LANDASAN HUKUM KOPERASI SYARIAH


Landasan Hukum Koperasi Syariah di Indonesia tidak memiliki perbedaan dengan koperasi konvensional yaitu Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Namun saat ini masalah koperasi syariah diatur khusus melalui Perundang-undangan tersendiri. BMT yang berbadan hukum koperasi menggunakan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor: 35.2/PER/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah.
Pra kelahiran UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Verordening op de Cooperatieve Verenigingen (Stbl. Nomor 431 Tahun 1915) Merupakan regulasi pertama yang berlaku bagi semua golongan penduduk (Pasal 131 IS) yang ada di Indonesia. Peraturan ini timbul atas adanya kekosongan hukum akan pengaturan koperasi.

Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen (Stbl Nomor. 91Tahun 1927) Pada saat politik balas budi Belanda baru saja didengungkan, perjuangan para nasionalis berhasil dengan keluarnyaRegeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen”. Peraturan Koperasi ini tunduk pada Hukum Adat dan bukan pada BW( Hukum Perdata Belanada).

Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen (Stb Nomor . 108 Tahun 1933) merupakan perubahan dari Verordening op de Cooperatieve Verenigingen yang berlaku bagi penduduk golongan I, II dan III, namun di sisi lain Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen masih diberlakukan untuk Gol. III(pribumi). Pada masa ini, Departemen Ekonomi atas anjuran dari Jawatan Koperasi mendirikan gabungan dari pusat-pusat koperasi di Hindia Belanda yang dinamakan Moeder Centrale


Regeling Cooperatieve Verenigingen (Stb. Nomor 179 Tahun 1949). Regulasi yang pertama kali dicetuskan sejak kemerdekaan Indonesia ini, muncul karena adanya krisis yang berkepanjangan mulai dari agresi militer Belanda, hingga pemberontakan PKI.
Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 Tentang Perkumpulan Koperasi. Undang undang ini dibuat dengan sangat tergesa-gesa, sehingga tidak membawa banyak perubahan bagi eksistensi kelembagaan koperasi.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 dan 3 Tahun 1960. Sebagai peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah, maka dibentuk Badan Penggerak Koperasi sebagai wadah tunggal kerjasama antar jawatan koperasi dan masyarakat
UU Nomor 14 tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Perkoperasian. Undangundang ini sebagai pengejahwantahan prinsip Nasakom yang mengebiri prinsip koperasi di Indonesia.
Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Perkoperasian.

Masa berlakunya UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian


Beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri terkait, yang mengatur tentang landasan hukum Koperasi syariah saat ini :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1995, Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi
Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 323/BH/KWK-12/V/1999, Tanggal 24 Mei 1999;
Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM Republik Indonesia Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tanggal 10 September 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah
Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI No: 35.2/PER/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah;

Peraturan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 35.3/Per/M.Kukm/X/2007 Tentang Pedoman Penilaian Kesehatan Koperasi Jasa KeuanganSyariah Dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi;
Landasan hukum lain yang juga dijadikan sebagai rujukan Koperasi syariah, misalnya:
-Pasal 1320 KUH Perdata tentang Syarat sah perjanjian;
-Pasal 1243 KUH Perdata tentang penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan;
-Undang – undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama terkait dengan Penyelesaian sengketa;
-Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 02/DSNMUI/ IV/2000 Tentang Tabungan (wa’diah);
-Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 03/DSNMUI/IV/2000, tentang Deposito
-Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 04/DSN-MUI/IV/2000

Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSNMUI/ IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah dan peraturan- peraturan lainnya yang terkait dan
Undang undang RI Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Periode pasca UU Nomor 25 Tahun 1992

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 sebagai pengganti undang undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Namun telah dibatalkan pleh MAHKAMAH KONTITUSI.
Pasal 87 ayat (3) dan (4) adalah satu-satunya pasal yang bisa dijadikan sebagai rujukan bagi keberadaan Koperasi Syariah.
Pasal 87 ayat (3) berbunyi: “Koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah, dan ayat (4), berbunyi: “ Ketentuan mengenai Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Bunyi Pasal 87 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian tersebut, justeru semakin mempertegas bahwa kelembagaan Koperasi syariah di satu sisi diakui sebagai bagian dari kerangka sistem Koperasi Nasional, namun di sisi lain adanya keengganan dari pembuat Undang undang untuk secara tegas mengatur tentang kelembagaan ini

Mendudukkan Ormas

"​​​​​​​Kentalnya pendekatan politik dalam pengaturan soal organisasi masyarakat sipil, membuat banyak kerancuan dalam pengaturan Ormas. Mendorong pembahasan RUU Perkumpulan untuk mengganti UU Ormas merupakan jalan keluar hukum untuk membangun sektor nirlaba Indonesia yang sehat."

DPR telah mengetok palu sidang paripurna untuk menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas menjadi UU. Bagian dari sejarah Indonesia ini disetujui setelah sidang paripurna DPR melalui mekanisme voting. Pada akhirnya, keputusan politik menghasilkan bahwa yang setuju lebih banyak daripada yang tidak setuju.

Fraksi yang menyetujui antara lain PDIP, PPP, Golkar, PKB, NasDem, Hanura dan Demokrat. PPP, PKB dan Demokrat menerima Perppu dengan catatan agar DPR bersama pemerintah segera merevisi Perppu yang baru disetujui itu. Sedangkan tiga fraksi lainnya menyatakan tidak setuju yakni Gerindra, PKS dan PAN. Selanjutnya, Perppu yang telah disetujui jadi UU itu tinggal diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Perlu diingat, persetujuan Perppu Ormas menjadi UU meninggalkan permasalahan bagi sebagian pihak. Misalnya saja Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang status badan hukumnya telah dicabut oleh Menteri Hukum dan HAM sebagai tindaklanjut dari pelaksanaan Perppu. HTI telah menggugat SK pencabutan tersebut ke PTUN Jakarta. Di sisi lain, persoalan Perppu Ormas pun telah bergulir ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa pihak tercatat menjadi pemohon gugatan. Dengan disetujuinya Perppu menjadi UU, maka bola panas persoalan ini bergulir ke MK dan PTUN Jakarta.

Judicial review Perppu yang nyatanya telah disetujui jadi UU menimbulkan polemik baru. Apakah MK akan menerima atau menolak judicial review, tinggal menungu keputusan para “Pengawal Konstitusi”. Hal serupa juga ada di tangan PTUN Jakarta, apakah mengabulkan gugatan para pemohon yakni HTI atau tidak. Penting diingat, upaya-upaya hukum ini harus dihormati meski Perppu Ormas telah disetujui menjadi UU. Jika pada akhirnya gugatan HTI di PTUN ditolak, dampak hukum khususnya masalah eksekusi menjadi persoalan baru. Bagaimana nasib aset HTI yang telah berbadan hukum tersebut?

Biasanya aset berbadan hukum sudah atas nama badan hukum tertentu, bukan perseorangan. Dengan dicabutnya badan hukum, maka para pengurus Ormas tak bisa mengakses sehingga dampak hukum ini menjadi persoalan lanjutan yang perlu diselesaikan di tingkat implementasi.

Belum lagi munculnya kerancuan rezim hukum bagi badan hukum berbentuk yayasan dan perkumpulan. Di satu sisi mesti patuh pada UU Ormas, di sisi lain ada mekanisme badan hukum yang dilewati baik di UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan maupun sesuai Staatsbald Nomor 64 Tahun 1870 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen).

Ormas bukanlah jenis badan hukum. Namun UU Ormas mencampuradukkan dua badan hukum, Yayasan dan Perkumpulan, di dalam pengaturannya. Pemerintah seolah memaksakan definisi bahwa Ormas merupakan “Rumah Besar” bagi sektor nirlaba. Pemaksaan definisi ini jelas akan bermasalah di tingkat praktiknya. Perlu diingat, di sektor nirlaba ini berisi tidak hanya organisasi masyarakat sipil yang melakukan advokasi kebijakan. Kegiatan di sektor nirlaba meliputi berbagai aspek kegiatan sosial seperti pendidikan, kesehatan, bencana alam, panti jompo, panti asuhan dan lain sebagainya.

Dalam isu eksekusi misalnya, jika Ormas berbadan hukum Yayasan bubar dan dilikuidasi, maka, kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan ke Yayasan lain yang memiliki kesamaan kegiatan atau badan hukum lain yang mempunyai kesamaan kegiatan atau kekayaan tersebut diserahkan kepada Negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan kegiatan Yayasan yang bubar. (Pasal 68 UU Yayasan).

Sedangkan sesuai Staatsbald Nomor 68 Tahun 1870, Ormas berbadan hukum Perkumpulan yang bubar dan dilikuidasi, maka, oleh balai harta peninggalan, yang demi hukum bertugas mengenai pengurusannya dan utang-utangnya dibayar, maka sisanya, bila ada, diberikan kepada mereka, yang pada saat pernyataan gugur menjadi anggota perkumpulan atau kepada yang berhak, masing-masing untuk bagian yang mereka bayarkan kepada perkumpulan. (Pasal 7 Staatsbald Nomor 68 Tahun 1870).

Keruwetan ini mesti segera dibenahi. Panggil para ahli hukum untuk duduk bersama mendiskusikan hal ini. Jangan sampai muncul ketidakpastian hukum bagi Ormas yang berbentuk badan hukum tertentu. Apalagi jika dianggap sepihak tak sesuai dengan Pancasila maupun Konstitusi. Jangan terus menggunakan pendekatan politik, apalagi politik-keamanan, terhadap sektor nirlaba Indonesia. Syarat harus mendaftar ke Kesbangpol menjadi persoalan serius bahwa Ormas yang terdaftar tak jauh dari “campur tangan” politik. Sehingga, subyektifitas sangat terlihat. Jika dilihat dari catatan hasil pemantauan pelaksanaan UU Ormas Koalisi Kebebasan Berserikat, sepanjang periode Juli 2014-Juli 2015 ditemukan 10 kebijakan terkait UU Ormas yang diterbitkan pemerintah pusat dan daerah. Bahkan, terdapat 35 peristiwa dan 39 tindakan yang dikategorikan bertentangan dengan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat.

Catatan-catatan seperti ini bisa menjadi pegangan para pemangku kepentingan untuk mengevaluasi pendekatan UU Ormas. Sejalan dengan itu, sepatutnya pemerintah dan DPR segera mendorong pembahasan RUU Perkumpulan yang telah masuk Prolegnas 2015-2019. Dari sisi hukum, RUU Perkumpulan lebih memiliki dasar dan memperbarui pengaturan badan hukum Perkumpulan sampai saat ini masih diatur dalam peraturan kuno Staatsblad Nomor 64 Tahun 1870. Selain itu, mendudukkan Ormas berbadan hukum Perkumpulan sesuai dengan amanat UU Ormas itu sendiri. Pasal 12 UU Ormas menyebutkan, badan hukum Perkumpulan harus didirikan dengan memenuhi akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD dan ART; program kerja; sumber pendanaan; surat keterangan domisili; nomor pokok wajib pajak atas nama perkumpulan; dan surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan.

Pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Pengesahan ini dilakukan setelah meminta pertimbangan dari instansi terkait. Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum perkumpulan diatur dengan UU.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59f9c316b9f55/mendudukkan-ormas/

Ketentuan Pesangon

  Ketentuan pemberian pesangon jika terjadi PHK Dalam Pasal 154A Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan alasan-alasan terjadinya Pemutusan Hub...