Selasa, 10 September 2024

Ketentuan Pesangon

 Ketentuan pemberian pesangon jika terjadi PHK

Dalam Pasal 154A Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan alasan-alasan terjadinya Pemutusan Hubungan  Kerja (PHK) baik PHK yang dilakukan pengusaha maupun pekerja/buruh. Tata cara PHK dan pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak diatur dala Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat Pasal 154A ayat (3) dan Pasal 156 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Saat ini RPP terkait PHK masih dalam proses pembahasan. Kami sangat tidak menyarankan dalam kondisi ini pengusaha melakukan PHK. Namun, apabila PHK tida dapat dihindari, untuk menghitung hak pekerja/buruh akibat PHK tersebut, dapat ditempuh sebagai berikut:

  • dalam hal Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) terdapat pengaturan mengenai besaran uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, maka sepanjang nilainya lebih besar dari Pasal 156 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka besaran yang diatur dalam PK, PP, atau PKB agar digunakan.
  • dalam hal PK, PP, atau PKB tidak mengatur mengenai besaran PHK, pengusaha dan pekerja/buruh dapat merundingkan hal tersebut secara bipartite untuk mencapai satu besaran PHK yang disepakati bersama.
  • perhitungan besaran uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja untuk sementara juga dapat menggunakan rujukan secara maksimal dari Pasal 156 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tentunya dengan memperhatikan masa pekerjanya.

source:
https://jdih.kemnaker.go.id/berita-bagaimana-ketentuan-pemberian-pesangon-bila-terjadi-pemutusan-hubungan-kerja-phk-sesuai-dengan-peraturan-perundangundangan-yang-berlaku-saat-ini.html

Jenis Kompensasi

 Jenis Kompensasi yang didapat pekerja/buruh PKWT

Berdasarkan ketentuan Pasal 61A UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bahwa pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada Pekerja/Buruh apabila perjanjian kerja waktu tertentu berakhir. Ketentuan lebih lanjut mengenai  uang kompensasi tersebut diatur dalam PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Dalam hal PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan lebih cepat penyelesaiannya dari lamanya waktu yang diperjanjikan dalam PKWT maka uang kompensasi dihitung sampai dengan saat selesainya pekerjaan (Pasal 16 ayat (5) PP Nomor 35 Tahun 2021).

Dalam hal salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, pengusaha wajib memberikan uang kompensasiyang besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh Pekerja/Buruh (Pasal 17 PP Nomor 35 Tahun 2021). Namun, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja, pihak yang mengakhiri hubungan kerja PWKT diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja/Buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (Pasal 62 UU Nomor 13 Tahun 2003).

Sehubungan dengan hal tersebut, apabila Pengusaha mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT maka pengusaha wajib memberikan uang kompensasi dan membayar ganti rugi kepada Pekerja/Buruh.




sumber:
https://jdih.kemnaker.go.id/berita-apa-saja-kompensasi-yang-didapat-pekerjaburuh-dengan-perjanjian-kerja-waktu-tertentu-pkwt.html

Perhitungan Kompensasi PKWT

 

Terkait perhitungan Kompensasi PKWT, hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan Pasal 16 PP 35 tahun 2021 seperti pada tabel berikut ini :



Senin, 09 September 2024

Kompensasi PKWT/PKWTT

Kompensasi PKWT/PKWTT

Setiap Perusahaan sudah seharusnya paham bagaimana penerapan kompensasi PKWT/PKWTT. Pekerja di perusahaan kini tidak hanya terdiri dari pegawai tetap saja, namun juga pegawai tidak tetap atau kontrak, yaitu yang memiliki masa bekerja sesuai kesepakatan.

Mungkin selama ini kita hanya memahami kompensasi sebagai uang tambahan yang harus diberikan kepada pegawai tetap. Sebenarnya hal ini tidak salah, namun kompensasi lebih sering digunakan istilahnya untuk menyebut Pesangon yang diberikan ke pegawai kontrak.

Jadi jika Anda memiliki pegawai kontrak, pastikan sudah memahami bagaimana penerapan kompensasi PKWT/PKWTT yang benar. Sehingga pegawai merasa dihargai dan perusahaan juga sudah menunaikan kewajibannya, yaitu memberi kompensasi sesuai undang – undang.

Ketika membahas kompensasi untuk pegawai kontrak, maka Anda harus mengacu pada undang – undang cipta kerja, yaitu undang – undang nomor 11 tahun 2020. Penerapan yang dijelaskan dalam UU cipta kerja tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut.

Hukumnya wajib diberikan oleh perusahaan

Hal pertama yang harus diperhatikan adalah penerapan kompensasi PKWT/PKWTT wajib dilakukan oleh perusahaan. Dengan kata lain, pegawai kontrak memang harus mendapatkan kompensasinya sesuai aturan. Jika perusahaan melanggar, maka bisa saja dikenakan sanksi.

Ada alasan tertentu mengapa hukum memberi uang tambahan pada pegawai ini harus Anda lakukan. Alasan utama adalah untuk memberi hak pada karyawan, serta sebagai rasa terimakasih karena sudah mengabdi meskipun hanya beberapa masa saja di perusahaan.

Itu sebabnya jika karyawan kontrak tidak mendapat kompensasi, padahal sudah ditulis di perjanjian, maka perusahaan bisa dituntut berdasarkan pelanggaran undang – undang. Jadi pastikan tetap memberi kompensasinya sebagai perusahaan yang taat pada aturan.

Kapan KOMPENSASI diberikan ?

Masa yang tepat memberi tambahan uang ini adalah saat kontraknya sudah habis, sehingga menyesuaikan dengan masa kerja di kontrak. Perusahaan juga dilarang memberikan saat masa kontrak belum habis, karena dikhawatirkan jumlahnya tidak sesuai hitungan yang telah diatur oleh undang – undang. Sebenarnya masa pemberian kompensasinya masih bisa dinegosiasikan dengan karyawan saat menulis kontrak.

Misalnya perusahaan memiliki kebijakan memberi uang tambahan pada karyawan tidak pada saat masa kerjanya sudah habis, namun diberikan di tengah – tengah dengan jumlah yang sama seperti aturan, maka hal ini boleh saja dilakukan jika pegawainya juga setuju.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penerapan kompensasi PKWT/PKWTT adalah melihat masa kerja karyawan. Masa kerja untuk karyawan kontrak adalah maksimal 5 tahun, sehingga jika sudah lewat dari 5 tahun, maka seharusnya pegawai diangkat jadi Pegawai Tetap.

Meskipun begitu jika ingin memperpanjang masa kontrak setelah 5 tahun, hal ini dapat dilakukan. Namun sangat dianjurkan untuk mengangkat jadi pegawai tetap setelah kontrak 5 tahun, karena ini adalah hal yang wajar dilakukan oleh perusahaan.

Kemudian untuk pemberian kompensasinya, terdapat ketentuan dari UU cipta kerja, yaitu bisa diberikan pada karyawan dengan masa kerja minimal 1 bulan. Jika sebelum 1 bulan sudah resign, maka kompensasinya tidak harus diberikan kepada karyawan tersebut.

Hanya 1 (satu) kali

Kompensasinya hanya bisa diberikan sebanyak 1 kali. Jadi karyawan tidak bisa menuntut lebih banyak seperti pegawai tetap, karena memang aturannya sudah dituliskan seperti itu di dalam UU cipta kerja.

Sesuai dengan aturan penerapan sebelumnya, Anda harus memberi kompensasinya saat kontrak sudah berakhir. Sehingga hanya pada saat itu saja uangnya akan diberikan. Namun pastikan jumlahnya sudah benar sesuai UU cipta kerja untuk menghargai pegawainya.

Jika karyawan mendapat uang tambahan lainnya di luar pemberian kompensasi sebanyak 1 kali, maka itu bisa dikategorikan sebagai hadiah dari perusahaan. Sebagai perusahaan yang baik, seharusnya bisa mematuhi aturan dalam pemberian uang tambahan ini pada pegawai.

Kompensasi tetap diberikan meskipun karyawan memutus kontrak

Dalam penerapan kompensasi PKWT/PKWTT, pastikan Anda juga sudah tahu bahwa kompensasinya harus tetap diberikan meskipun karyawan yang memutus kontrak. Jadi ada masanya karyawan memutus kontrak karena beberapa alasan yang benar dan masuk akal.

Hal ini memang merugikan perusahaan karena memutus kontrak, artinya perusahaan perlu mencari karyawan baru untuk menggantikannya. Namun hal ini bukan masalah, karena sebenarnya karyawan memang memiliki hak untuk memutus kontrak dengan alasan baik.

Perhatikan juga bahwa karyawan yang memutus kontrak dan berhak mendapat kompensasi juga ada ketentuannya. Jika karyawan sudah memutus kontrak di bulan pertama, maka pegawai tersebut tentu tidak bisa mendapatkan uang tambahan dari perusahaan.

Hanya Berlaku Bagi Warga Negara Indonesia (WNI)

Pemahaman terkait penerapan kompensasi PKWT/PKWTT yang terakhir adalah bahwa peraturan dari UU cipta kerja ini hanya berlaku untuk warga negara di Indonesia. Jika tidak dipatuhi, maka perusahaan dan pegawai kontrak harus meninjau kembali tentang sanksinya.

Jika ada warga negara asing yang bekerja kontrak di sebuah perusahaan, maka perusahaan bisa memakai hak tidak memberi kompensasinya atau bisa juga memberi sesuai keinginan. Jadi tidak ada sanksi tertentu jika tidak membayar kompensasinya pada tenaga kerja WNA.

Hal ini karena pemberian kompensasi tersebut pada warga negara asing hukumnya tidak harus dilakukan oleh perusahaan. Namun jika perusahaan memiliki rasa terimakasih yang besar atas jasa WNA tersebut, maka sebaiknya kompensasi tetap diberikan pada pegawai WNA.


Oleh :
Syarifuddin, S.H., M.H., MED., CPM., CCD., CPCLE., CTLA., CPLC., CCCLE.


Referensi:

https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-penerapan-3-jenis-pkwt-dalam-uu-cipta-kerja-lt60642a6791738/

- https://www.hukumonline.com/klinik/a/aturan-perpanjangan-dan-pembaruan-pkwt-pasca-uu-cipta-kerja-lt57d76d588b24f

- https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19797&menu=2

Seminar Hukum Acara Pidana Nasional :
"Urgensi Penguatan Akses Keadilan pada Hukum Acara Pidana dalam Rangka Menyongsong Pemberlakuan KUHP Nasional"

Jakarta, 5 September 2024


 

Rabu, 18 Maret 2020

Ini Perbedaan Perkumpulan Berbadan Hukum vs Tak Berbadan Hukum

Kita mengenal berbagai bentuk organisasi dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari asosiasi, himpunan, atau ikatan. Organisasi tersebut bergerak dengan kekhususan mulai dari kegiatan keagamaan, budaya, sosial, sampai bisnis. Namun sebenarnya, lembaga-lembaga tersebut mengambil bentuk yang sama di mata hukum yakni bentuk perkumpulan.
Sistem hukum di Indonesia mengenal dua macam bentuk perkumpulan, yaitu perkumpulan berbadan hukum dan perkumpulan berbadan hukum. Serupa tapi tak sama, keduanya sama-sama memiliki legalitas dan diakui oleh Pemerintah. Masih banyak juga sebagian dari kita yang masih bingung akan perbedaan dari keduanya. Apa saja perbedaannya? Simak uraian berikut ini.

Aturan Hukum

Pada dasarnya, baik perkumpulan berbadan hukum maupun perkumpulan tak berbadan hukum masih tetap tunduk pada ketentuan yang ada di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Selain itu, keduanya juga tunduk pada ketentuan yang ada pada Staatsblad Nomor 64 Tahun 1870 beserta peraturan-peraturan perubahan dan turunannya selama belum diganti atau dihapus.
Akan tetapi, perkembangan hukum pada masa sekarang membuat keduanya juga memiliki dasar aturan yang berbeda. Khususnya aturan mengenai tata cara pendiriannya. Untuk perkumpulan berbadan hukum, tata cara pendiriannya tunduk pada Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2016. Sementara tata cara pendirian perkumpulan tidak berbadan hukum diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2017.
 Bentuk Hukum
Perkumpulan tidak berbadan hukum pada dasarnya hanya sebuah perikatan dasar. Perkumpulan tersebut hanya merupakan sebuah kontrak yang dilakukan oleh para pihak tanpa para pihak mentubuhkan perikatan hasil kontrak tersebut ke dalam suatu subyek hukum yang mandiri.
Sementara dalam perkumpulan berbadan hukum, perikatan yang dilakukan melahirkan satu subyek hukum baru, yaitu perkumpulan berbadan hukum.

Bentuk Tanggung Jawab

Perkumpulan berbadan hukum dapat bertindak untuk dan atas namanya sendiri karena merupakan subyek hukum. Akan tetapi, karena sifat badan hukum yang merupakan konsep abstrak, maka pada kenyataannya kemampuan perkumpulan berbadan hukum untuk bertindak diwakilkan oleh para pengurusnya atau salah seorang yang diberi kuasa khusus untuk urusan tertentu.
Sementara perkumpulan tak berbadan hukum tak dapat bertindak untuk dan atas namanya sendiri karena bukan subyek hukum. Jika perkumpulan tak berbadan hukum ingin melakukan suatu tindakan tertentu, maka para pengurus perkumpulan semuanya harus turut bertanggung jawab dalam sistem tanggung jawab tanggung renteng.

Kemampuan Tindakan Perdata

Perkumpulan berbadan hukum memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan perdata. Perkumpulan berbadan hukum dapat melakukan perjanjian, jual-beli, sewa-menyewa, dan berbagai macam tindakan keperdataan lainnya selama masih dalam lingkup kepentingan perkumpulan berbadan hukum. Tindakan tersebut dilakukan untuk dan atas nama diri perkumpulan berbadan hukum sendiri.
Sementara itu, perkumpulan tidak berbadan hukum tak dapat melakukan tindakan keperdataaan apapun, meskipun para pengurus perkumpulan tak berbadan hukum mampu dan mau untuk bertanggung jawab secara tanggung renteng sekali pun.

Registrasi Perkumpulan

Perkumpulan berbadan hukum diregistrasi sekaligus dimintakan status badan hukumnya kepada Kementerian Hukum dan HAM. Hal tersebut dapat dilihat dari diaturnya perkumpulan berbadan hukum dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM. Perkumpulan berbadan hukum didaftarkan melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) dengan bantuan Notaris.
Perkumpulan tidak berbadan hukum diregistrasi kepada Kementerian Dalam Negeri. Hal tersebut dapat dilihat dari diaturnya perkumpulan tak berbadan hukum dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Perkumpulan tidak berbadan hukum didaftarkan melalui Sistem Informasi Organisasi Masyarakat (SIORMAS) dengan bantuan Notaris.

LANDASAN HUKUM KOPERASI SYARIAH


Landasan Hukum Koperasi Syariah di Indonesia tidak memiliki perbedaan dengan koperasi konvensional yaitu Undang-undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Namun saat ini masalah koperasi syariah diatur khusus melalui Perundang-undangan tersendiri. BMT yang berbadan hukum koperasi menggunakan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor: 35.2/PER/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah.
Pra kelahiran UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Verordening op de Cooperatieve Verenigingen (Stbl. Nomor 431 Tahun 1915) Merupakan regulasi pertama yang berlaku bagi semua golongan penduduk (Pasal 131 IS) yang ada di Indonesia. Peraturan ini timbul atas adanya kekosongan hukum akan pengaturan koperasi.

Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen (Stbl Nomor. 91Tahun 1927) Pada saat politik balas budi Belanda baru saja didengungkan, perjuangan para nasionalis berhasil dengan keluarnyaRegeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen”. Peraturan Koperasi ini tunduk pada Hukum Adat dan bukan pada BW( Hukum Perdata Belanada).

Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen (Stb Nomor . 108 Tahun 1933) merupakan perubahan dari Verordening op de Cooperatieve Verenigingen yang berlaku bagi penduduk golongan I, II dan III, namun di sisi lain Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen masih diberlakukan untuk Gol. III(pribumi). Pada masa ini, Departemen Ekonomi atas anjuran dari Jawatan Koperasi mendirikan gabungan dari pusat-pusat koperasi di Hindia Belanda yang dinamakan Moeder Centrale


Regeling Cooperatieve Verenigingen (Stb. Nomor 179 Tahun 1949). Regulasi yang pertama kali dicetuskan sejak kemerdekaan Indonesia ini, muncul karena adanya krisis yang berkepanjangan mulai dari agresi militer Belanda, hingga pemberontakan PKI.
Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 Tentang Perkumpulan Koperasi. Undang undang ini dibuat dengan sangat tergesa-gesa, sehingga tidak membawa banyak perubahan bagi eksistensi kelembagaan koperasi.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 dan 3 Tahun 1960. Sebagai peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah, maka dibentuk Badan Penggerak Koperasi sebagai wadah tunggal kerjasama antar jawatan koperasi dan masyarakat
UU Nomor 14 tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Perkoperasian. Undangundang ini sebagai pengejahwantahan prinsip Nasakom yang mengebiri prinsip koperasi di Indonesia.
Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Perkoperasian.

Masa berlakunya UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian


Beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri terkait, yang mengatur tentang landasan hukum Koperasi syariah saat ini :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1995, Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi
Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 323/BH/KWK-12/V/1999, Tanggal 24 Mei 1999;
Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM Republik Indonesia Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tanggal 10 September 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah
Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI No: 35.2/PER/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah;

Peraturan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 35.3/Per/M.Kukm/X/2007 Tentang Pedoman Penilaian Kesehatan Koperasi Jasa KeuanganSyariah Dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi;
Landasan hukum lain yang juga dijadikan sebagai rujukan Koperasi syariah, misalnya:
-Pasal 1320 KUH Perdata tentang Syarat sah perjanjian;
-Pasal 1243 KUH Perdata tentang penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan;
-Undang – undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama terkait dengan Penyelesaian sengketa;
-Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor: 02/DSNMUI/ IV/2000 Tentang Tabungan (wa’diah);
-Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 03/DSNMUI/IV/2000, tentang Deposito
-Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 04/DSN-MUI/IV/2000

Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 08/DSNMUI/ IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah dan peraturan- peraturan lainnya yang terkait dan
Undang undang RI Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Periode pasca UU Nomor 25 Tahun 1992

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 sebagai pengganti undang undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Namun telah dibatalkan pleh MAHKAMAH KONTITUSI.
Pasal 87 ayat (3) dan (4) adalah satu-satunya pasal yang bisa dijadikan sebagai rujukan bagi keberadaan Koperasi Syariah.
Pasal 87 ayat (3) berbunyi: “Koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah, dan ayat (4), berbunyi: “ Ketentuan mengenai Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Bunyi Pasal 87 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian tersebut, justeru semakin mempertegas bahwa kelembagaan Koperasi syariah di satu sisi diakui sebagai bagian dari kerangka sistem Koperasi Nasional, namun di sisi lain adanya keengganan dari pembuat Undang undang untuk secara tegas mengatur tentang kelembagaan ini

Ketentuan Pesangon

  Ketentuan pemberian pesangon jika terjadi PHK Dalam Pasal 154A Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan alasan-alasan terjadinya Pemutusan Hub...