m.hukumonline.com - Berita :
Soal Ujian Advokat Asing, “So Tricky”
------------------------
PERADI MENYELENGGARAKAN UJIAN UTK ADVOKAT ASING
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) telah sukses menggelar ujian advokat asing di Indonesia untuk pertama kali. Ada banyak kesan dan komentar yang timbul dari para peserta ujian. Ada yang mengaku grogi, ada juga yang mengaku kaget dengan soalnya.
Anna Alfaro Manurung –salah seorang peserta- dan beberapa peserta lainnya menyebut bahwa soal yang disajikan cukup “tricky” (menjebak). Soal-soal yang “menjebak” memang sudah dikenal sebagai khas PERADI, terutama dalam ujian-ujian calon advokat Indonesia.
Anna yang bekerja sebagai Foreign Legal Counsel dari Kantor Hukum Adnan Kelana Haryanto & Hermanto mengaku grogi menghadapi ujian advokat asing yang diadakan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi). “Sedikit grogi karena ini adalah untuk pertama kalinya saya mengambil ujian di Indonesia,” ujarnya dalam bahasa Inggris kepada hukumonline usai ujian, Kamis (27/2).
Kendati demikian, setelah ia menghadapi ujian itu sendiri, ia mulai merasa cukup baik. Pasalnya, ia cukup terbantu dengan pendidikan yang diadakan Peradi sebelum ujian berlangsung, yaitu pendidikan dengan materi ajar Fungsi dan Peran Organisasi Advokat dan Kode Etik Advokat pada Senin lalu (24/2). Pendidikan tersebut, sambungnya, sangat membantu dalam mengklarifikasi tentang beberapa konsep-konsep yang selama ini ia belum ketahui.
Meskipun merasa terbantu dengan pendidikan yang diadakan Peradi, advokat asal Filipina ini tak dapat memungkiri jika beberapa soal sangat menjebak dan memerlukan beberapa analisis yang mendalam. Namun, lagi-lagi ia mengatakan soal-soal tersebut cukup fair.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt530f7499b6e4e/soal-ujian-advokat-asing--so-tricky?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter
Kantor kami didedikasikan untuk melayani kebutuhan jasa hukum, kami menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Kami berkomitmen untuk memberikan pelayanan hukum yang terbaik, layanan kami dalam berbagai aspek hukum di Indonesia baik dalam bidang Perdata, Perbankan, Pidana (litigasi atau non-litigasi), Legal Drafting/Legal Opinion, Negosiasi, Labour Law, Perceraian, Waris, Keluarga dan Mediator bersertifikasi Mahkamah Agung Republik Indonesia (RI).
Jumat, 28 Februari 2014
Selasa, 18 Februari 2014
m.hukumonline.com - Berita : Panitia: Ujian Advokat 2014 Berjalan Lancar di tengah Bencana
Untuk diketahui, ini adalah kiprah perdana Hermansyah Dulaimi menjadi Ketua Panitia Ujian Advokat PERADI. Sebelumnya, sejakpenyelenggaraan pertama ujian, posisi Panitia Ujian Advokat PERADI dipegang oleh Thomas Tampubolon.
Di kiprah perdananya ini, Hermansyah menargetkan kualitas pelayanan yang disajikan panitia akan meningkat dari tahun ke tahun. Ketepatan koreksi dan prosedur pendaftaran, lanjut dia, juga akan terus dijaga kualitasnya.
Soal Membingungkan
Dimintai komentarnya, seorang peserta ujian di Jakarta, Rey –bukan nama sebenarnya- menilai penyelenggaraan ujian sungguh luar biasa, sangat berbeda dg ujian-ujian di tempat lain. Penyelenggarannya sudah sangat bagus!
Secara khusus, Rey memuji ketepatan waktu dan pengawasan cukup ketat yang dijalankan panitia.
Terkait soal ujian, Rey menilai secara umum materinya sulit dan agak membingungkan.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53004f8803ce5/panitia--ujian-advokat-2014-berjalan-lancar
Sabtu, 15 Februari 2014
Kamis, 13 Februari 2014
Advokat di Jepang menganut Sistem SINGLE BAR (Organisasi Advokat di Jepang, meski organisasi bernama federasi, tetapi sistem yang digunakan tetap single bar.)
Otto ‘Curhat’ Revisi UU Advokat ke Pengacara Jepang
Di Jepang, meski organisasi bernama federasi, tetapi sistem yang digunakan tetap single bar.
Belasan advokat Jepang dari Yokohama Bar Association menyambangi kantor Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Tajuk kunjungannya adalah studi banding. Para advokat Jepang itu ingin menggali informasi seputar organisasi advokat di Indonesia. Namun, kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh pengurus DPN PERADI untuk menggali informasi seputar organisasi advokat di Jepang.
Ketua Umum DPN PERADI Otto Hasibuan bahkan sempat ‘curhat’ seputar rencana DPR dan Pemerintah untuk merevisi UU Advokat. Bagi PERADI, revisi ini dapat merugikan eksistensi PERADI.
“Ada upaya mau merevisi undang-undang agar tak hanya PERADI yang menjadi single bar (wadah tunggal advokat,-red), tapi membolehkan bar-bar (organisasi-organisasi advokat,-red) yang lain bisa mengangkat advokat,” tuturnya, Senin (10/2).
Otto menjelaskan sejak PERADI berdiri, proses pengangkatan advokat memang tak lagi semudah sebelumnya. Dengan ujian ketat yang dilakukan PERADI, Otto menuturkan banyak yang kecewa dengan kebijakan PERADI. “Kami memang menerapkan zero KKN,” tambahnya.
Karena tak terbiasa dengan pola zero KKN, lanjut Otto, sebagian orang akhirnya beranggapan bahwa menjadi advokat semakin sulit setelah kehadiran PERADI.
Otto mengutarakan saat ini sedang digodok apakah organisasi advokat menggunakan sistem multi bar atau single bar. “Kira-kira bagaimana dengan organisasi advokat di sana? Saya dengar meski namanya federasi, tetapi konsepnya tetap single bar,” ujarnya.
Presiden Yokohama Bar Association, Takei Komo menjelaskan di Jepang, masing-masing provinsi memiliki organisasi advokatnya sendiri. Salah satunya adalah Yokohama Bar Association yang dipimpinnya, yakni organisasi untuk para advokat yang berada di area Yokohama dan sekitarnya.
Berdasarkan ketentuan UU Advokat, lanjut Takei, setiap provinsi memiliki satu organisasi advokat. Namun, khusus untuk provinsi Tokyo terdapat tiga organisasi, dan Hokkaido terdapat empat organisasi. Semua organisasi lokal itu menginduk ke Japan Federation of Bar Association, semacam PERADI di Jepang.
Proses pengangkatan advokat di Jepang sedikit berbeda dengan Indonesia. Bila di Indonesia, para calon harus ikut ujian yang diselenggarakan PERADI, tetapi di Jepang mereka harus ikut ujian negara berbarengan dengan para calon hakim dan jaksa.
Meski begitu, pengangkatan si calon advokat tetap kewenangan penuh organisasi induk advokat. “Setiap advokat harus terdaftar di Japan Federation of Bar Associations,” ujar Takei yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden di Japan Federation of Bar Association.
Sebagai informasi, di Indonesia, desakan untuk mengubah sistem single bar memang semakin kuat. Salah satu yang didorong dalam revisi UU Advokat adalah penggunaan sistem multibar melalui organisasi berbentuk federasi. Dalam perkembangannya, di revisi UU Advokat, para anggota DPR memunculkan Dewan Advokat Nasional untuk menggantikan PERADI.
Otto mengatakan ada kesalahan informasi bagi sebagian orang seputar sistem organisasi advokat di Jepang. Pasalnya, meski organisasinya bernama federasi, tetapi konsep yang digunakan tetap single bar. Jadi, kewenangan pengangkatan advokat tetap dipegang oleh organisasi induk.
“Informasi ini akan kami sampaikan ke DPR,” ujar Otto usai pertemuan dengan para advokat dari Yokohama Bar Association ini.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52faf6219a7cc/otto-curhat-revisi-uu-advokat-ke-pengacara-jepang
Belasan advokat Jepang dari Yokohama Bar Association menyambangi kantor Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Tajuk kunjungannya adalah studi banding. Para advokat Jepang itu ingin menggali informasi seputar organisasi advokat di Indonesia. Namun, kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh pengurus DPN PERADI untuk menggali informasi seputar organisasi advokat di Jepang.
Ketua Umum DPN PERADI Otto Hasibuan bahkan sempat ‘curhat’ seputar rencana DPR dan Pemerintah untuk merevisi UU Advokat. Bagi PERADI, revisi ini dapat merugikan eksistensi PERADI.
“Ada upaya mau merevisi undang-undang agar tak hanya PERADI yang menjadi single bar (wadah tunggal advokat,-red), tapi membolehkan bar-bar (organisasi-organisasi advokat,-red) yang lain bisa mengangkat advokat,” tuturnya, Senin (10/2).
Otto menjelaskan sejak PERADI berdiri, proses pengangkatan advokat memang tak lagi semudah sebelumnya. Dengan ujian ketat yang dilakukan PERADI, Otto menuturkan banyak yang kecewa dengan kebijakan PERADI. “Kami memang menerapkan zero KKN,” tambahnya.
Karena tak terbiasa dengan pola zero KKN, lanjut Otto, sebagian orang akhirnya beranggapan bahwa menjadi advokat semakin sulit setelah kehadiran PERADI.
Otto mengutarakan saat ini sedang digodok apakah organisasi advokat menggunakan sistem multi bar atau single bar. “Kira-kira bagaimana dengan organisasi advokat di sana? Saya dengar meski namanya federasi, tetapi konsepnya tetap single bar,” ujarnya.
Presiden Yokohama Bar Association, Takei Komo menjelaskan di Jepang, masing-masing provinsi memiliki organisasi advokatnya sendiri. Salah satunya adalah Yokohama Bar Association yang dipimpinnya, yakni organisasi untuk para advokat yang berada di area Yokohama dan sekitarnya.
Berdasarkan ketentuan UU Advokat, lanjut Takei, setiap provinsi memiliki satu organisasi advokat. Namun, khusus untuk provinsi Tokyo terdapat tiga organisasi, dan Hokkaido terdapat empat organisasi. Semua organisasi lokal itu menginduk ke Japan Federation of Bar Association, semacam PERADI di Jepang.
Proses pengangkatan advokat di Jepang sedikit berbeda dengan Indonesia. Bila di Indonesia, para calon harus ikut ujian yang diselenggarakan PERADI, tetapi di Jepang mereka harus ikut ujian negara berbarengan dengan para calon hakim dan jaksa.
Meski begitu, pengangkatan si calon advokat tetap kewenangan penuh organisasi induk advokat. “Setiap advokat harus terdaftar di Japan Federation of Bar Associations,” ujar Takei yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden di Japan Federation of Bar Association.
Sebagai informasi, di Indonesia, desakan untuk mengubah sistem single bar memang semakin kuat. Salah satu yang didorong dalam revisi UU Advokat adalah penggunaan sistem multibar melalui organisasi berbentuk federasi. Dalam perkembangannya, di revisi UU Advokat, para anggota DPR memunculkan Dewan Advokat Nasional untuk menggantikan PERADI.
Otto mengatakan ada kesalahan informasi bagi sebagian orang seputar sistem organisasi advokat di Jepang. Pasalnya, meski organisasinya bernama federasi, tetapi konsep yang digunakan tetap single bar. Jadi, kewenangan pengangkatan advokat tetap dipegang oleh organisasi induk.
“Informasi ini akan kami sampaikan ke DPR,” ujar Otto usai pertemuan dengan para advokat dari Yokohama Bar Association ini.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52faf6219a7cc/otto-curhat-revisi-uu-advokat-ke-pengacara-jepang
Rabu, 12 Februari 2014
Selasa, 04 Februari 2014
HIBAH DAN WASIAT
HIBAH DAN WASIAT
(KAJIAN KOMPILASI HUKUM ISLAM, FIQIH DAN
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA)
Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri.
Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182).
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI) kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Tidak prinsip memang antara yang lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah dan hukum wakaf, namun sistematika pembahasan terhadap materi tersebut dalam tnini hukum hibah dan hukum wakaf dimulai membahas hibah, perbuatan hukum yang berlakunya setelah kematian pemberi wasiat.
Hibah dan wasiat berdasarkan hokum Islam dalam konteks kompetensi absolut Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah kewenangan Peradilan Agama (pasal 49 ayat(1) UUPA, sedang hibah dan wasiat didalam KHI merupakan pedoman bagi hakim Pengadilan Agama khususnya untuk menyelesaikan masalah-masalah berkenan bidang hukum yang terdapat didalamnya (Inpres nomor 1 Tahun 1990)..
Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab).
Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak.
Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti.
Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat berhubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.
Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan.
Hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama.
Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum Islam.
Hibah dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh dalam wasiat.
Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal. Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan dalam KHI.
Lain halnya kalau dilihat dari pembahasan dalam kitab-kitab fiqih yang begitu detail dan antipatifnya pendapat Ulama Fiqih tentang kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap permasalahan yang terjadi.
Hibah yang diatur dalam pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta, yaitu pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu).
Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi (tahaaduu tahaabuu).
Dalam KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian fiqih, bahwa anak kecil dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum cukup umur (ahliyatul ada’al-kamilah) dan bagi wali karena benda yang dihibahkan bukan miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul, sedangkan dalam shadaqah dan hadiah tidak disyaratkan ijab kabul.
Dalam pasal 211 KHI disebutkan hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Maksud dapat diperhitungkan berarti harta yang dihibahkan dapat dijadikan bagian waris yang bagian waris sendiri dapat lebih kecil karena karena sudah mendapatkan hibah.
Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan, yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Pasal 212 KHI disebutkan hibah kepada anak dapat ditarik kembali.
Ketentuan ini merupakan garis hukum islam berdasarkan hadits Rasulullah yang diwriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang pada intinya dapat dicabut secara sepihak, tetapi ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan apabila harta hibah sudah berganti tangan dalam bentuk benda lain.
Oleh karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki anak atau masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi apabila sudah bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta orang lain tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 213 KHI hibah yang diberikan pada pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya harus mendapat persetujuan ahli warisnya. Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar istishhabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya.
Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI).
Ketentuan ini disepakati oleh Imam 4 mazdhab (Maliki,Hanafi,Hambali, dan Al-Syafi’i). melaksanakan hibah hukumna sunnah dan hukum berwasiat menurut Imam empat mazdhab pada asanya sunah berdasarkan kata yuridu (arab) dala hadits yang diriwayatkan Imam Maliki dari An-Nafi sebagai berikut :”Tidak ada hak bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya”.
Para Imam empat mazdhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan, karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakanya.
Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram tergantung pada maksud dan tujuannya.
1.Wajib apabila selama hidupnya belum melunasi kewajibannya terhadap Allah SWT, misalnya membayar kifarat, zakat atau haji maupun kewajiban terhadap manusia, misalnya hutang dan lainnya.
2.Sunah adalah berwasiat kepada kerabat yang tidak mendapat warisan.
3.Haram apabila berwasiat untuk hal-hal yang dilarang oleh agama.
4.Makruh apabaila yang berwasiat mengenai hal-hal yang dibenci agama.
5.Mubah apabila berwasiat untuk kaum kerabat atau orang lain yang berkecukupan.
Sehubungan wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian hukum.
Dasar hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 180, sehingga para ulama setelah masa tabi’in seperti Sa’idbin Musayyab, hasan bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud Az-Zhahiri,Ibu jarir Al-Tobari Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain berdasarkan hal ayat tersebut berpendapat wajib untuk berwasiat kepada kerabat yang tidak berhak mendapat waris karena terhijab oleh ahli waris yang lainnya. Tersebut bersifat muhkam, yang tetap berlaku bagi kerabat yang tidak mendapat bagian waris.
Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan wasiat wajibah, Ibnu Hazm Cs membatasi hanya pada cucu sebanyak bagian ayah atau ibunya apabila keduanya masih hidupdan tidak boleh lebih dari 1/3 harta (Ibrahim Husen, 1985:24).
Sebagaimana yang diketahui dalam hukum waris bahwa menurut pendapat jumhur posisi cucu di hijab oleh anak pewaris sehingga cucu yang orang tuanya (ayah atau ibu) meninggal dunia dihijab oleh pamannya (saudara ayah atau ibu) sedangkan pendapat lain yang tidak mu’tamad, tetapi mencerminkan rasa keadilan berpendapat seseorang yang meninggalkan anak tidak putus hak kewarisan anak atas hak orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari orang tuannya, tetapi tetap tersambung meneruskan juarinnya (keturunannya).
Tetapi berbeda ketentuannya antara wasiat wajibat dengan ahli waris pengganti (plaatsvervangend erfgenaam). Wasiat wajibah maksimal mendapat 1/3 bagian berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, bahkan menurut Ash-Shon’ani pengarang kitab Subulussalam para ulama sepakat membatasi wasiat 1/3. Kalaupun akan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 harus seizin ahli waris. Tanpa seizin ahli waris wasiat lebih dari 1/3 batal demi hukum.
Masalahnya belum ada peraturan perundang-undangan atau setidak-tidaknya perlu SKB antara Mahkamah Agung RI sebagai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan merupakan Pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan (UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman) dengan lembaga atau instansi pemerintah untuk menindaklanjuti putusan-putusan Pengadilan Agama.
Putusan pengadilan deklarator, konstitutif maupun kondemnator pada asasnya melahirkan hukum baru terhadap peristiwa hukuhm yang diputuskan.
Oleh karena itu mestinya dengan putusan Pengadilan Agama dalam perkara yang terkait dengan hibah atau harta kekayaan lainnya, instansi yang bersangkutan atau pejabat yang menangani harta kekayaan, misalnya Notaris, PPAT atau BPN terikat isi putusan pengadilan in casu Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain.
Apabila putusan Pengadilan Agama dalam perkara hibah ini tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain, maka dapat saja yang bersangkutan mempersulit atau mengingkari putusan tersebut, bahkan mengesampingkan putusan.
ADAPUN PERBEDAAN HIBAH DAN WASIAT
WARIS
|
HIBAH
|
WASIAT
| |
Waktu
|
Setelah wafat
|
Sebelum wafat
|
Setelah wafat
|
Penerima
|
Ahli waris
|
ahli waris &
bukan ahli waris
|
bukan ahli waris
|
Nilai
|
Sesuai faraidh
|
Bebas
|
Maksimal 1/3
|
Hukum
|
wajib
|
Sunnah
|
Sunnah
|
BATAL HIBAH
Hibah dapat dikatakan batal demi hukum ataupun dapat dimintakan pembatalannya, tergantung dari syarat-syarat manakah yang dilanggar.Untuk menemukan konstruksi hukumnya, pasal 1320 BW secara garis besar harus dibaca sebagai berikut :Syarat syahnya perjanjian :
1.Sepakat ;
2.Cakap ;
3.Hal tertentu ;
4.Sebab yang halal.
Syarat
No.1/ Sepakat dan syarat
No.2/Cakap disebut sebagai syarat Subjektif yaitu syarat yang berkaitan atau ditujukan pada si subjek hukum atau orangnya; yang apabila tidak memenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur tersebut maka suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalannya.Sedangkan syarat
No.3/Suatu hal tertentu dan syarat
No.4/Sebab yang halal disebut syarat Objektif yaitu syarat yang ditujukan pada objek hukum atau bendanya.
Apabila tidak memenuhi syarat-syarat/ unsur-unsur tersebut maka suatu perjanjian batal demi hukum.Dengan demikian, apabila dikatakan suatu hibah batal demi hukum maka tidak perlu dilakukan permohonan pembatalannya kepada hakim (oleh si pemberi hibah) karena secara yuridis hibah tersebut tidak pernah ada dan konsekuensi-konsekuensi hukumnyapun tidak ada. Akan tetapi, apabila ada pelanggaran syarat No.1 dan No.2 maka dapat dimintakan pembatalannya oleh si pemberi hibah/ orang yang paling berhak.Sebagai catatan: kata dapat dalam terminologi hukum mengandung opsi yang ditujukan kepada si pemberi hibah / orang yang paling berhak untuk melakukan proses pembatalannya melalui hakim di pengadilan.2) Hibah yang terlanjur terproses dan penerima hibah adalah anak yang belum dewasa maka dikategorikan sebagai tidak cakap secara hukum; dalam hal ini hibah tersebut seharusnya disebutkan siapa pihak yang ditunjuk sebagai walinya sampai anak berusia dewasa atau telah menikah. Pertanyaan apakah diperlukan penetapan pengadilan bagi orang tua untuk mengembalikan objek hibahnya maka, kembali kepada unsur No.2/Cakap sebagaimana telah diterangkan diatas maka hibah dapat dimintakan pembatalannya melalui hakim di pengadilan.
Hibah
Bahwa seseorang yang mendalilkan mempunyai hak atas tanahberdasarkan hibah tersebut sebagaimana dimaksud oleh pasal 210 ayat (1) KHI dan apabila diperoleh berdasarkan hibah maka segera tanah tersebut dibalik namakan atas nama penerima hibah jika tidak demikian kalau timbul sengketa dikemudian hari maka status tanah tersebut tetap seperti semula kecuali benar benar dapat dibuktikan perubahan status kepemilikannya;
Putusan No. 27 K/AG/2002 tanggal 26 Februari 2004
Himpunan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam bidang perdata Agama MARI, 2009, hal, 765
Keputusan Mahkamah Agung No. 225 K/Sip/1960 tanggal 23 Agustus 1960,
yang menyatakan bahwa hibah tidak memerlukan persetujuan ahli waris.
Pemberian hibah tidak boleh mengakibatkan ahli waris menjadi tidak berhak atas harta penginggalan si pewaris
426 K/ Sip/1963 = Hibah dilarang apabila mengakibatkan hilangnya hak ahli waris dari anak sah pewaris
BATALNYA HIBAH
Pertimbangan Pengadilan Tmggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Pasal 124 ayat 3 K.U.H. perdata melarang suami untuk menghibahkan sebagian dari harta bersama tanpa persetujuan istrinya, kecuali untuk memberikan suatu kedudukan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka.
Barang gono gini harus jatuh kepada anak kandung bukan kepada anak gawan, oleh karena itu hibah tanpa sepengetahuan yang berkepentingan patut dibatalkan.
Yurisprudensi Mahkamah AgungNo. 400 K/Sip/1975
Terbit : 1977-1
Hal. 98-105
Penghibahan yg dilakukan oleh almarhum kepada ahli waris-ahli warisnya dengan merugikan ahli waris lainnya (karena dengan penghibahan itu ahli waris lainnya tidak mendapat bagian) dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan, karena bertentangan dengan peri keadilan dan Hukum Adat yang berlaku di daerah Priangan.
Yurisprudensi Mahkamah AgungNo. 391 K/Sip/1969
Terbit : 1970
Hal. 289
Pencabutan Gugatan/Permohonan Cerai di Pengadilan Agama
PENCABUTAN PERKARA
DI PERADILAN AGAMA
A. PENDAHULUAN
Pencabutan gugatan perkara perdata pada tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan bahkan pada tingkat peninjauan kembali (request civil)dimungkinkan dapat terjadi. Pencabutan perkara, sekalipun tidak diatur di dalam HIR (Het Herziene Indoneisch Reglement) dan R.Bg. (Reglement Buitteegewesten), namun kebutuhan praktik peradilan mengharuskan adanya pedoman dalam pelaksanaan. Karena kekosongan aturan itulah, Pasal 271-272 Rv. (Reglement op de burgerlijke rechsvordering) dapat dijadikan sebagai pedoman oleh pengadilan. Ada suatu prinsip yang harus dijunjung oleh pengadilan, bahwa pencabutan perkara merupakan hak penggugat yang melekat pada diri penggugat seperti halnya pengajuan gugatan bagi Penggugat. Sebagai akibat dari pencabutan perkara, maka sengketa yang termuat dalam surat gugatan dinyatakan berakhir, tertutup segala upaya hukum, kedua pihak dinyatakan kembali kepada keadaan semula (restitutio in integrum), dan biaya perkara dibebankan kepada penggugat.
B. PENCABUTAN PERKARA PADA PENGADILAN AGAMA
Pada Pengadilan Agama, pencabutan perkara sering dilakukan oleh berbagai sebab. Ada kalanya, pencabutan itu karena para pihak ingin menyelesaikan perkaranya dengan damai, atau kepentingan penggugat telah terpenuhi, atau penggugat ingin memperbaiki gugatannya. Tetapi untuk yang terakhir ini, tidak berlaku dalam hal pencabutan yang dilakukan penggugat dalam persidangan atas persetujuan Tergugat.
Pencabutan perkara pada pengadilan tingkat pertama, dapat dilihat dalam beberapa kasus.
1. Pencabutan perkara sebelum relaas panggilan sidang disampaikan kepada tergugat oleh juru sita.
Dalam kasus ini :
a. Penggugat memohon untuk mencabut perkaranya dalam bentuk surat;
b. Surat pencabutan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama;
c. Panitera mengeluarkan akta pencabutan perkara tersebut;
d. Ketua memerintahkan kepada panitera untuk mencoret perkara dari buku Regester Induk Perkara Perdata Gugatan/ (Permohonan) dan menyelesaikan administrasi yustisial yang berkaitan dengan pencabutan.
2. Pencabutan perkara setelah relaas panggilan sidang disampaikan kepada tergugat.
Dalam kasus ini :
a. Penggugat memohon untuk mencabut perkaranya dalam bentuk surat;
b. Surat pencabutan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama;
c. Panitera mengeluarkan akta pencabutan perkara tersebut;
d. Ketua memerintahkan Juru Sita untuk menyampaikan pemberitahuan pencabutan perkara tersebut kepada tergugat. Pemberitahuan ini bersifat imperatif demi tegaknya kepastian dan pelayanan hukum yang baik;
e. Atau Hakim bersidang sesuai dengan hari yang telah ditetapkan, kemudian memberikan vonis dalam bentuk penetapan (beschikking);
f. Ketua memerintahkan kepada panitera untuk mencoret perkara dari buku Regester Induk Perkara Perdata Gugatan/ (Permohonan)dan menyelesaikan administarasi yustisial yang berkaitan dengan pencabutan.
3. Pencabutan perkara dalam sidang yang tidak dihadiri tergugat.
Dalam kasus ini :
a. Penggugat menyatakan mencabut gugatannya;
b. Majelis Hakim memberikan vonis pencabutan dalam bentuk penetapan (beschikking);
c. Majelis Hakim memerintahkan kepada Juru Sita untuk menyampaikan salinan penetapan tersebut kepada tergugat;
d. Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret perkara dari buku Regester Induk Perkara Perdata Gugatan/ (Permohonan).
4. Pencabutan perkara dalam sidang yang dihadiri tergugat dan tergugat belum memberikan jawaban.
Dalam kasus ini :
a. Penggugat menyatakan mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawabannya;
b. Majelis Hakim memberikan vonis pencabutan dalam bentuk penetapan (beschikking);
c. Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret perkara dari buku Regester Induk Perkara Perdata Gugatan/ (Permohonan).
5. Pencabutan perkara setelah tergugat memberikan jawabannya.
Dalam kasus ini, apabila tergugat menyetujuinya :
a. Penggugat menyatakan mencabut gugatannya;
b. Setelah penggugat menyatakan mencabut gugatannya, Hakim segera menanyakan pendapat tergugat. Namun tergugat dapat meminta waktu untuk berpikir dengan tidak segera memberi jawabannya.
c. Apabila tergugat menyetujui pencabutan perkara tersebut, Majelis Hakim memberikan vonis dalam bentuk penetapan (beschikking) (Akan tetapi, menurut M.Yahya Harahap,
“Karena tergugat telah menyetujui pencabutan perkara, berarti penyelesaian perkara bersifat final. Sedangkan penyelesaian perkara berdasarkan persetujuan (agreement), maka vonisnya, lebih tepat bersifat putusan. Karena pencabutan seperti ini tunduk kepada ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, maka kesepakatan para pihak tersebut merupakan undang bagi mereka).
d. Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret perkara dari buku Regester Induk Perkara Perdata Gugatan/ (Permohonan);
e. Pencabutan tersebut bersifat final, dengan pengertian bahwa sengketa di antara penggugat dan tergugat berakhir.
6. Pencabutan perkara setelah tergugat memberikan jawabannya.
Pada kasus ini, apabila tergugat tidak menyetujui pencabutan perkara tersebut:
a. Penggugat menyatakan mencabut gugatannya;
b. Setelah penggugat menyatakan mencabut gugatannya, Hakim segera menanyakan pendapat tergugat. Namun tergugat dapat meminta waktu untuk berpikir dengan tidak segera memberi jawabannya.
c. Apabila tergugat tidak menyetujui permohonn pencabutan gugatan perkara tersebut, pemeriksaan perkara harus dilanjutkan;
d. Hakim harus memberikan putusan sesuai ketentuan yang berlaku
C. PENCABUTAN PERKARA BANDING
Ada dua kasus pencabutan perkara pada pengadilan tingkat banding. Pertama, perkara banding yang telah didaftarkan di pengadilan tingkat pertama dan dicabut sebelum perkara tersebut dikirim ke pengadilan tingkat banding (dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama). Kedua, perkara banding yang telah dikirim ke pengadilan tingkat banding.
1. Berkas Belum Dikirim ke PTA
a. Apabila berkas perkara banding belum dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama dan Akta Permohonan Banding belum diberitahukan kepada pihak terbanding :
I. Pembanding memohon untuk mencabut perkaranya dalam bentuk surat;
II. Surat pencabutan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut;
III. Panitera mengeluarkan akta pencabutan perkara yang ditandatangani oleh Panitera dan pembanding;
IV. Ketua Pengadilan Tingkat Pertama memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret perkara dari buku Regester Permohonan Banding dan menyelesaikan administrasi yustisial yang berkaitan dengan pencabutan.
b. Apabila berkas perkara banding tersebut belum dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama, akan tetapi Akta Permohonan Banding sudah diberitahukan kepada pihak terbanding :
I. Pembanding memohon untuk mencabut perkaranya dalam bentuk surat;
II. Surat pencabutan tersebut ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang memeriksa perkara tersebut;
III. Panitera mengeluarkan Akta Pencabutan Perkara yang ditandatangani oleh pembanding atau para pembanding, terbanding atau para terbanding, dan Panitera;
IV. Dalam hal tidak dimungkinkan meminta tanda tangan terbanding, sehelai akta tersebut wajib disampaikan kepada terbanding oleh Juru Sita;
V. Ketua Pengadilan Tingkat Pertama memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret perkara tersebut dari buku Regester Permohonan Banding dan menyelesaikan administrasi yustisial yang berkaitan dengan pencabutan.
2. Berkas Perkara Sudah Dikirim Ke PTA
Apabila berkas perkara banding tersebut sudah dikirim ke Pengadilan Tingkat Banding :
I. Pembanding memohon untuk mencabut perkaranya dalam bentuk surat;
II. Surat pencabutan tersebut ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut;
III. Panitera Pengadilan Agama mengeluarkan Akta Pencabutan Perkara yang ditanda tangani oleh pembanding atau para pembanding, terbanding atau para terbanding, dan Panitera;
IV. Ketua Pengadilan Agama mengirim surat pengantar kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama, yang menerangkan bahwa permohonan perkara banding Nomor … /Pdt.G/ …/PA.. Tanggal …… telah dicabut oleh pembanding, dengan melampirkan surat permohonan pencabutan perkara banding dan Akta Pencabutan Banding tersebut (a.dan c.) di atas;
V. Pengadilan Banding memberikan vonis dalam bentuk penetapan pencabutan banding tersebut;
VI. Ketua Pengadilan Agama memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret perkara dari buku Regester Permohonan Banding dan menyelesaikan administrasi yustisial yang berkaitan dengan pencabutan tersebut.
Mengapa diperlukan persetujuan pihak terbanding atau para terbanding dan diikut-sertakan pula dalam pembubuhan tanda-tangan mereka pada Akta Pencabutan Permohonan Banding? Logikanya ialah bahwa perkara yang dimohonkan banding oleh pembanding menjadi mentah kembali atau dikembalikan kepada keadaan semula (restitutio in integrum). Amar putusan dan pertimbangan hukum atau salah satunya ketika itu dinyatakan pembanding tidak memuaskan dirinya, sehingga pembanding bereaksi ingin membatalkan atau memperbaiki putusan tersebut melewati upaya hukum
yang dilakukannya. Yang ingin dibatalkan atau diperbaikinya adalah amar putusan atau/ dan pertimbangan hukum putusan sekaligus. Disinilah kepentingan pihak terbanding terusik kembali, apabila permohonan banding itu telah didaftarkan pada Pengadilan Tinggi Agama. Padahal, sebelumnya dalam duduk perkara yang termuat dalam Berita Acara Persidangan pada Pengadilan Agama, pihak lawan telah memberikan jawabannya, sekarang perkara itu dikembalikan lagi seperti posisi semula. Oleh karena itu pencabutan permohonan banding pun perlu adanya persetujuan pihak terbanding atau para terbanding, apabila Permohonan Banding telah disampaikan kepada Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Tinggi Agama telah memprosesnya dengan memberi nomor regester banding.
D. PENCABUTAN PERKARA PADA TINGKAT KASASI
Sebagaimana terurai di muka, pencabutan perkara pada semua tingkatan peradilan dapat dilakukan. Disini kita berbicara tentang pencabutan permohonan kasasi (Untuk mempersingkat tulisan ini PK inklusif termuat disini). Pada dasarnya ada tiga kasus pada pencabutan perkara kasasi (dan peninjauan kembali) :
1. Pencabutan permohonan kasasi yang belum disampaikan Akta Permohonan Kasasi kepada termohon kasasi:
i. Permohonan pencabutan perkara permohonan kasasi oleh pemohon kasasi dibuat dalam bentuk surat;
ii. Permohonan pencabutan tersebut ditujukan ke Pengadilan Agama yang memeriksa perkara tersebut;
iii. Panitera Pengadilan Agama, yang memutus perkara tersebut, membuat Akta Pencabutan Permohonan Kasasi yang ditanda-tangani oleh Panitera dan pemohon kasasi;
iv. Ketua Pengadilan Agama yang memeriksa perkara tersebut, memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret perkara dari buku Regester Permohonan Kasasi dan menyelesaikan administrasi yustisial yang berkaitan dengan pencabutan.
2. Pencabutan permohonan kasasi yang sudah disampaikan Akta Permohonan Kasasi kepada termohon kasasi:
i. Permohonan pencabutan perkara permohonan kasasi oleh pemohon kasasi dibuat dalam bentuk surat;
ii. Permohonan pencabutan tersebut ditujukan ke Pengadilan Agama yang memeriksa perkara tersebut;
iii. Panitera Pengadilan Agama yang memeriksa perkara tersebut membuat Akta Pencabutan Permohonan Kasasi yang ditanda-tangani oleh Panitera dan pemohon kasasi dan termohon kasasi atau sekurang-kurangnya ditanda-tangani oleh Panitera dan pemohon kasasi, kemudian Akta Pencabutan Permohonan Kasasi tersebut disampaikan sehelai kepada termohon kasasi ;
iv. Ketua Pengadilan Agama yang memeriksa perkara tersebut memerintahkan kepada Panitera untuk mencoret perkara dari buku Regester Permohonan Kasasi dan menyelesaikan administrasi yustisial yang berkaitan dengan pencabutan.
3. Pencabutan permohonan kasasi yang sudah disampaikan ke Mahkamah Agung :
i. Permohonan pencabutan permohonan perkara kasasi oleh pemohon kasasi dibuat dalam bentuk surat;
ii. Permohonan pencabutan tersebut ditujukan ke Pengadilan Agama yang memeriksa perkara tersebut;
iii. Panitera Pengadilan Agama yang memeriksa perkara tersebut membuat Akta Pencabutan Permohonan Kasasi yang ditanda-tangani oleh Panitera dan pemohon kasasi dan termohon kasasi;
iv. Ketua Pengadilan Agama, yang memeriksa perkara tersebut, mengirim surat pengantar kepada Ketua Mahkamah Agung RI c.q. Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama yang menerangkan bahwa permohonan kasasi tersebut telah dicabut oleh pemohon dengan lampiran surat-surat angka a. dan angka c. tersebut di atas;
v. Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, yang memeriksa perkara tersebut, memerintahkan kepada panitera untuk mencoret perkara dari buku Regester Permohonan Kasasi dan menyelesaikan administrasi yustisial yang berkaitan dengan pencabutan, setelah penetapan MARI diterima;
Oleh Drs.H.M.TARSI HAWI, S.H.
(PTA BANJARMASIN)
Langganan:
Postingan (Atom)
Ketentuan Pesangon
Ketentuan pemberian pesangon jika terjadi PHK Dalam Pasal 154A Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan alasan-alasan terjadinya Pemutusan Hub...
-
Apa saja hak dan kewajiban serta hal-hal yang perlu diketahui dan diperhatikan ketika anda dihadirkan dihadapan Polisi selaku Penyidik untuk...
-
Seminar Hukum Acara Pidana Nasional : "Urgensi Penguatan Akses Keadilan pada Hukum Acara Pidana dalam Rangka Menyongsong Pemberlakuan K...
-
Kita mengenal berbagai bentuk organisasi dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari asosiasi, himpunan, atau ikatan. Organisasi tersebut berge...