Sabtu, 04 Oktober 2014

Kemandirian Advokat Adalah Harga Mati

http://kahaba.net/opini/17789/kemandirian-advokat-adalah-harga-mati.html

Pengambilan Sumpah Advokat Perhimpunan Advokat Indonesia ("PERADI")

http://photo.sindonews.com/view/2764/pengambilan-sumpah-advokat#2

Ketua Panja: Ada Rapat RUU Advokat Tanpa Sepengetahuan Saya

Ada kesan dipaksakan.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Advokat Sarifuddin Sudding mengungkapkan ada rapat pembahasan RUU Advokat yang dilakukan tanpa sepengetahuan dirinya pada Sabtu (27/9).
“Itu dilakukan oleh salah satu pimpinan Panja atau Pansus (Panitia Khusus,-red). Dan tidak ada pemberitahuan kepada saya,” ujar Sudding melalui sambungan telepon kepada hukumonline, Minggu (28/9).
Sudding mengetahui bahwa ada rapat RUU Advokat itu dari sekretariat DPR pukul 22.00 WIB. Ia menilai aneh rapat tersebut, karena selain tanpa sepengetahuan dirinya sebagai ketua panja, biasanya hari Jumat, Sabtu dan Minggu dilakukan hanya untuk konsinyering. “Itu bila merujuk kepada kebiasaan dan tata tertib DPR,” ujarnya.
Ketika ditanya siapa pimpinan yang menggelar rapat tersebut, Sudding mengaku tidak mengetahui. Ia hanya memaparkan bahwa selain dirinya, ada beberapa anggota DPR yang menjadi pimpinan Panja dan Pansus RUU Advokat ini, di antaranya adalah Ahmad Yani dan Sayyed Muhammad. “Saya tidak tahu,” jelasnya.
Lebih lanjut, Sudding menuturkan bahwa RUU Advokat ini sulit untuk disetujui atau disahkan karena waktu yang sangat mepet. Masa sidang DPR periode 2009-2014 ini praktis tinggal dua hari tersisa, yakni Senin (29/9) dan Selasa (30/9). Pada awal Oktober, anggota DPR baru periode 2014-2019 sudah akan dilantik menggantikan anggota yang lama.

Panja DPR Tak Lanjutkan Pembahasan RUU Advokat

JAKARTA - Panja RUU Advokat DPR RI memutuskan untuk menghentikan pembahasan guna memberikan kepastian kepada masyarakat mengenai kelanjutan RUU tersebut.
Wakil Ketua Panja RUU Advokat dari FPDIP, Sayed Muhammad Muliady mengatakan tidak adanya titik temu antara anggota panja dalam menentukan Dewan Advokat Nasional menyebabkan rapat panja harus dihentikan.
“Kita belum ada titik temu mengenai format Dewan Advokat. Sedangkan masa kerja kita tinggal menghitung hari saja yaitu sampai akhir bulan ini saja. Ini tidak mungkin dapat diselesaikan, maka kami sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasannya,” kata Sayed kepada wartawan di Jakarta, Minggu (28/9/2014).
Sayed menjelaskan fraksinya berpandangan bahwa DAN harus mendiri, tidak ada campur tangan pemerintah di dalamnya sehingga independensi advokat dalam membela masyarakat yang berurusan dengan hukum bisa dijaga. Disamping itu, kemandirian DAN tersebut juga ditujukan untuk menghilangkan adanya konflik kepentingan.
“Pandangan kami adalah DAN itu berasal dari Advokat untuk Advokat tidak diisi oleh orang-orang diluar Advokat. Mereka harus membiayai dirinya sendiri tidak boleh dapat dana dari APBN,”jelasnya.
Dengan dihentikannya pembahasan mengenai RUU Advokat ini, Panja memberikan rekomendasi atau saran kepada anggota DPR periode berikutnya. Meski menurut Sayed hal itu tidak serta-merta akan dilanjutkan oleh DPR mendatang.
“Ini tidak otomatis diteruskan pembahasannya oleh DPR periode mendatang, Kalau mereka mau membahas mereka harus mulai dari awal dan harus masuk dalam prolegnas,” tambah Sayed.
Pendeknya waktu pembahasan RUU ini juga diaminin oleh ketua Pansus RUU Advokat Syarifuddin Suding. Menurutnya, RUU tersebut tidak bisa dipaksakan untuk dijadikan UU karena masih harus menempuh proses yang tidak sebentar, seperti harus masuk dalam pembahasan tim perumus dan tim singkronisasi.
“Jelas ini tidak bisa dipaksakan. Saya sendiri heran kalau ada pihak-pihak yang mencoba memaksakan RUU ini menjadi UU,”tegas ketua fraksi Hanura tersebut.
Suding menegaskan sejak awal RUU ini sudah bermasalah karena tidak sesuai dengan naskah akademik yang diterimanya. Disamping itu, Pemerintah juga terlambat dalam mengirimkan Daftar Inventarisir Masalah (DIM). “Naskah akademiknya mirip dengan UU no 18 tahun 2003 tapi RUU-nya berbeda. Disamping itu, kita baru terima DIM tanggal 3 bulan ini mana mungkin bisa membahas satu-persatu DIM tersebut,” kata Suding.
Menanggapi keputusan DPR ini, Ketua DPN Peradi Otto Hasibuan menjelaskan pembahasan RUU Advokat seharusnya dilakukan dengan waktu yang tidak tergesa-gesa karena banyak pasal yang masih menjadi perdebatan sengit diantara advokat. Dalam beberapa kesempatan Otto selalu menegaskan independensi organisasi advokat harus tetap dijaga guna membantu masyarakat pencari keadilan. “Kalau advokatnya tidak independen, maka yang akan dirugikan para pencari keadilan,” kata Otto.
Pro Kontra terhadap RUU Advokat ini telah berlangsung panjang sehingga mengundang perhatian masyarakat luas dan dunia internasional. Peradi menilai banyak pasal yang bisa mengebiri kemandirian advokat dan kwalitas para penegak hukum diluar kepolisian, kejaksaan dan pengadilan ini.
Pasal-pasal yang menjadi perdebatan antara lain yaitu Pasal mengenai Keberadaan Dewan Advokat Nasional dan Pasal mengenai struktur organisasi advokat. Dalam RUU tersebut dinyatakan bahwa DAN berada dibawah pemerintah dan dibiayai oleh APBN. Hal ini membuat mereka tidak independen. Disatu sisi, pasal mengenai Multibar dan penyumpahan juga dinilai akan membuat tidak adanya standarisasi mutu karena masing-masing organisasi advokat mempunyai standar kualitas advokat yang mereka seleksi dan sumpah.
Dalam perjalanan pro dan kontra mengenai RUU Advokat ini membuat dua organisasi advokat Peradi dan KAI harus melakukan aksi damai untuk menyampaikan aspirasi dan masukan mereka kepada DPR. Peradi dalam bulan ini tercatat sebanyak 2 kali melakukan aksi damai dibundaran HI dan DPR RI dalam jumlah massa lebih dari 5.000 advokat dari seluruh Indonesia.
Aksi menentang dan mendukung RUU Advokat ini tidak hanya berlangsung di Jakarta saja, akan tetapi juga berlangsung di berbagai kota di Indonesia seperti Medan, Surabaya, Jember, Makassar, Bandung. Tidak hanya itu saja, Penolakan terhadap RUU ini juga dilakukan 11 universitas terkemuka di Indonesia, di antaranya Unair, UGM, Airlangga, UNS, USU, UI, Trisakti, UII, UMI, dan Ubaya.

TOLAK RUU ADVOKAT YANG MENGHANCURKAN INDEPENDENSI ADVOKAT

“Dewan Advokat Nasional dijadikan perpanjangan tangan negara untuk mengatur rumah tangga profesi advokat”, tegas Agustinus di Jakarta, Kamis (25/11/2013),
Di sisi lain, kata dia, pembentukan Dewan Advokat Nasional hanya membuang uang negara dan menunjukkan intensi pemerintah yang ingin membebani diri dengan membiayai lembaga yang tidak mempunyai tugas penting.
Hal ini, lanjut pendiri kantor pengacara Lex Regis ini, membuka kemungkinan negara mengandalkan bantuan lembaga lain, baik asing maupun lokal.
“Membentuk Dewan Advokat Nasional dengan sumber pembiayaan dari negara atau bantuan lain yang tidak mengikat merupakan perampokan uang negara. Sudah bukan saatnya lagi kegiatan advokat dibiayai oleh negara apalagi oleh bantuan lain termasuk pihak asing”, jelasnya.
Agustinus menduga, pengusung RUU Advokat ini berambisi untuk menjadi anggota Dewan Advokat Nasional yang nantinya dibiayai oleh negara atau bantuan lain yang tidak mengikat.

Penolakan Revisi UU Advokat Meluas

BALI — Gelombang penolakan terhadap rencana DPR mengamandemen Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat meluas. Setelah UGM, sejumlah universitas di Sumatra Utara (Sumut) dan akademisi universitas se-Sulawesi Selatan menolak revisi UU Advokat, kini giliran akademisi Bali melakukan hal yang sama.
Para akademisi yang menolak revisi UU Advokat, antara lain, berasal dari Universitas Udayana, Universitas Warmadewa, Universitas Mahendradata, Universitas Pendidikan Nasional, Universitas Panji Sakti, Universitas Ngurah Rai, Universitas Mahasaraswati, dan Universitas Tabanan Bali. Pakar Hukum Universitas Warmadewa Simon Nahak mengatakan, revisi UU Advokat berpotensi meliberialisasi hukum di Indonesia dan memecah belah advokat. Hal itu bisa terjadi lantaran dalam naskah RUU Advokat kini dipegang DPR, para advokat bisa dengan mudahnya mendirikan organisasi pengacara.
"Wadah tunggal advokat, seperti yang ada dalam UU Advokat saat ini, tidak perlu diubah. Sistem single bar ini sudah selaras dan senapas dengan organisasi advokat internasional (International Bar Association/IBA --Red)," kata Simon dalam Seminar Nasional Kajian Akademis RUU Advokat di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, akhir pekan lalu.
Ketua Harian Kongres Advokat Indonesia Erman Umar mengatakan, semangat untuk membentuk organisasi tunggal advokat Indonesia sudah lama dirintis para advokat senior sebelum disahkannya UU 18/2003. "Karena itu, ini harus dipertahankan," katanya.

10 Kampus di Sumatera Tolak Amandemen UU Advokat

"Pasal-pasal dalam amandemen UU Advokat sangat melemahkan kedudukan advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum di Indonesia, karena kedudukannya tidak sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan," ujar Guru Besar Universitas Sumatra Utara Prof DR H Syafruddin Kalo, kepada wartawan, Minggu (17/8/2014).
Ditambahkan dia, dalam amandemen tersebut dikatakan, advokat adalah mintra kepolisian. Hal itu dinilai melecehkan tugas dan peran advokat dalam penegakan hukum, dan membela masyarakat lemah.
"Kalau sebagai mitra, apa bedanya dengan banpol yang disuruh-suruh polisi? Revisi ini juga akan menumbuhkan praktik advokat nakal di Indonesia, karena tidak adanya standarisasi mengenai kualitas ujian bagi calon advokat," jelasnya.
Ditambahkan dia, mudahnya mendirikan organisasi advokat akan menyebabkan tidak adanya standarisasi profesi advokat. Untuk itu, wadah tunggal atau single bar adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum UGM DR Paripurna dalam suratnya kepada DPR, pada 2 Juli lalu, menyebutkan keberadaan organisasi advokat yang banyak akan menimbulkan praktik yang tidak sehat di dunia pengacara di Indonesia.
"Single bar system atau wadah tunggal organisasi advokat akan memudahkan proses audit dan pengawasan yang ketat terhadap praktik advokat di Indonesia. Hal itu bisa menguntungkan masyarakat dalam mencari keadilan," terangnya.

KEMANDIRIAN ADVOKAT adalah HARGA MATI !!!

DPR RI yang tengah menggodok RUU Advokat sebagai langkah untuk menggantikan UU Advokat No. 18/2003 menimbulkan Pro dan Kontra, RUU ini di TOLAK keras kalangan Advokat (PERADI, APSI, IKADIN, AAI, HKHPM, SPI, HAPI dll) Akademisi dan LSM. RUU Advokat justru hanya menimbulkan ketidakpastian hukum dan Perpecahan diantara kalangan Advokat. Suatu hal yang cukup aneh dimana RUU Advokat tiba-tiba muncul dalam Program Legislasi Nasional (Pro-legnas) pada tahun 2012, padahal RUU yang diusulkan Badan Legislasi (Baleg) ini telah ditolak oleh mayoritas Anggota dewan karena tidak pernah dibahas di Komisi III serta tidak ada usulan revisi kepada Baleg DPR RI.
RUU Advokat ini dapat kami analogikan sebagai “RUU Siluman” yang secara begitu saja dan simsallabim “muncul”, entah demi memenuhi kepentingan siapa dibalik semua ini dan/atau atas pesanan siapa dan bukan itu saja RUU Advokat a quo juga tidak dilengkapi dengan Naskah Akademik sebagaimana diisyaratkan oleh UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Padahal seperti yang kita ketahui bersama masih banyak RUU-RUU yang berkaitan erat dengan penegakan hukum yang harus diprioritaskan seperti RUU KUHAP, RUU KUHP dan RUU lain.
Apabila kita membaca dan selanjutnya dikomparasikan antara RUU Advokat dan UU Advokat No. 18 Tahun 2003 ttg Advokat maka akan didapati fakta bahwa keberadaan UU No. 18/2003 jauh lebih menjamin kepastian hukum terkait dengan pengaturan Hak dan Kewajiban, Kewenangan, Pengawasan, Honorarium, Bantuan Hukum cuma-Cuma, struktur keorganisasian, kepemimpinan dan juga pengawasan terhadap berjalannya profesi advokat tersebut baik hubungan dengan klien, sesama rekan sejawat, ataupun hubungan dengan penegak hukum lainnya. Hal tersebut sangat berbanding terbalik jika kita membaca dan menelaah RUU Advokat yang saat ini sedang di bahas oleh DPR-RI, dimana dalam RUU tersebut telah dihilangkan hal yang sangat penting seperti kedudukan organisasi induk semacam “Indonesian Bar Association” yang mewakili kekuasaan tunggal Organisasi Advokat. Keadaan seperti ini telah membawa kita kembali seperti pada era Orde Baru (setback) dimana lahir berbagai Organisasi advokat dengan standart dan kualitas yang berbeda, administrasi sendiri-sendiri, sehingga kode etik sulit untuk ditegakkan. Akan muncul kekhawatiran dimana seorang Advokat nakal dan melanggar kode etik pada suatu Organisasi kemudian dipecat maka dia akan dengan mudahnya pindah dan masuk pada organisasi lainnya guna membersihkan nama dan status kedudukannya sebagai Advokat, akhirnya Para Pencari Keadilanlah yang menjadi Korban akibat dari “Advokat Kutu Loncat” tersebut.


http://kahaba.net/opini/17789/kemandirian-advokat-adalah-harga-mati.html

Ketentuan Pesangon

  Ketentuan pemberian pesangon jika terjadi PHK Dalam Pasal 154A Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan alasan-alasan terjadinya Pemutusan Hub...