Minggu, 26 Januari 2014

PERBUATAN MELAWAN HUKUM Kaligis Gugat Majelis Kehormatan Peradi DKI Jakarta

Kamis, 6 Desember 2012
JAKARTA (Suara Karya): Advokat senior OC Kaligis mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Majelis Kehormatan Peradi DKI Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Sebagai tergugat I sampai V adalah Jack Sidabutar, Alex R Wangga, Sonny Kusuma, Fathurin Zen dan Andang L Binawan selaku majelis kehormatan yang dibentuk oleh Dewan Kehormatan Daerah Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) DKI Jakarta, yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pelanggaran kode etik tingkat pertama.
Gugatan tersebut diperiksa oleh majelis hakim PN Jakarta Barat yang diketuai Haswandi. Sidang lanjutan kemarin mendengarkan replik (tambahan) yang disampaikan oleh kuasa hukum penggugat OC Kaligis. Sebelumnya majelis hakim menolak eksepsi yang diajukan tim kuasa hukum tergugat yang terdiri dari Binoto Nadapdap, Andryawal dan Thomas Arthur Sitohang.
Gugatan tersebut berawal dari pengaduan advokat Sujudi Reksoputranto ke Dewan Kehormatan Peradi DKI Jakarta yang mendalilkan penggugat OC Kaligis melakukan pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia.
Atas pengaduan itu para tergugat selaku Majelis Kehormatan Peradi DKI Jakarta pada 8 Juni 2012 memutus dengan putusan No 080/Peradi/DKD/DKI-Jakarta/Putusan/VI/2012 dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun salah satu amar putusannya menyatakan pengaduan pengadu tidak dapat diterima. Tim kuasa hukum OC Kaligis mengatakan, dengan amar putusan itu maka para tergugat tidak memiliki kewenangan untuk menghukum penggugat. Namun, faktanya para tergugat tetap menghukum penggugat walaupun aduan Sujudi dinyatakan tidak dapat diterima.
Penggugat mengatakan putusan No 080 telah menyimpang dari ketentuan UU Advokat serta Kode Etik Advokat, sehingga putusan tersebut cacat hukum. Para tergugat dituding telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan sengaja merusak nama baik dan kehormatan diri penggugat dengan memberikan putusan yang tidak benar dan bertentangan dengan hukum serta diucapkan di muka umum.
Penggugat menyatakan keberatan dengan putusan para tergugat yang mencantumkan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan atas nama Majelis Kehormatan Peradi DKD DKI Jakarta karena dalam pemeriksaan tidak ada satu pun yang disumpah.
Oleh karena itu Kaligis minta kepada majelis hakim memerintahkan para tergugat untuk menghapuskan irah-irah tersebut dari putusan No 080/Peradi/DKD/DKI-Jakarta/Putusan/VI/2012. (Lerman Sipayung)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=316761

Masalah Harta Bersama (Harta Gono Gini) dalam Hukum


Salah satu masalah hukum yang sering dihadapi oleh para isteri yang sedang menempuh proses perceraian atau sudah bercerai dengan suaminya adalah tidak adilnya pembagian harta bersama atau yang biasa juga disebut harta gono-gini. Jika Anda salah satu dari sekian banyak perempuan yang mengalami ketidakadilan dalam putusan pembagian harta bersama, Anda dapat mengetahui upaya apa yang sebaiknya Anda lakukan untuk mengupayakan pembagian harta yang lebih adil melalui lembar info ini.


Pengertian Harta Bersama

Harta bersama (gono-gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga. Sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas separoh (seperdua) dari harta bersama.


Apa saja harta yang tidak termasuk harta bersama?

Menurut hukum perkawinan yang berlaku (Undang-Undang No 1 thn 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), harta kekayaan yang dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan) tidak termasuk dalam harta bersama kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan demikian, pada dasarnya, harta bawaan suami tetap menjadi milik suami dan harta bawaan istri tetap menjadi milik istri. Selain itu, mahar, warisan, hadiah dan hibah yang didapat selama perkawinan bukanlah harta bersama.


Ketidakadilan Pembagian Harta Bersama

Seringkali pihak isteri dirugikan dan mengalami ketidakadilan dalam pembagian harta bersama. Ketidakadilan ini terkait dengan masalah pembakuan peran suami isteri dalam Undang-Undang No. 1 thn 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. UUP juga telah menempatkan isteri sebatas pengelola rumah tangga (domestik) dengan aturan yang mewajibkan isteri mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dampaknya, banyak isteri yang tidak memiliki kesempatan bekerja dan mencari nafkah sendiri sehingga tidak bisa mengolah ketrampilan yang dimilikinya untuk memperoleh penghasilan. Dalam hal ini, para isteri mengalami ketergantungan ekonomi terhadap suaminya. Bagaimana jika kemudian terjadi perceraian? Isteri yang telah "dirumahkan" tentu akan mengalami kesulitan untuk mandiri secara ekonomi. Beban isteri pun semakin berat jika dalam perkawinan sudah lahir anak-anak yang menjadi tanggungannya.

Ketidakadilan lainnya yang sering terjadi adalah beban ganda yang memberatkan pihak isteri. Kadang kala isteri bekerja diluar rumah sebagai pencari nafkah (bahkan sebagai pencari nafkah utama) dan juga dibebani dengan pekerjaan rumah tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan suami yang merasa pekerjaan rumah tangga adalah urusan isteri saja,umumnya enggan melakukan pekerjaan rumah tangga meski isterinya sejak pagi bekerja di luar rumah.
Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi perempuan jika aturan pembagian harta bersama hanya terbatas pada pembagian separoh dari harta bersama karena tidak sedikit isteri yang berkontribusi lebih besar daripada suami. Ketentuan pembagian harta bersama sebaiknya diatur secara proporsional dan adil sesuai dengan kontribusi dan peran masing-masing pihak. Misalnya dalam kasus perselisihan harta bersama antara ibu Nina (bukan nama sebenarnya) dan suaminya. Ibu Nina memilih untuk membagi harta bersama melalui pembuatan kesepakatan bersama dengan suaminya. Sebelumnya, dibuat daftar harta bersama yang dimiliki oleh Ibu Nina dan suami selama perkawinan. Dalam kesepakatan tersebut, baik Ibu Nina maupun suami memperoleh bagian harta sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak.
Namun, penting untuk diingat bahwa dalam membuat kesepakatan Anda harus dalam keadaan bebas dari segala tekanan, intimidasi dan ancaman.

Jika Anda tidak mendapatkan kesepakatan yang adil, sedikitnya Anda memperoleh separuh bagian harta bersama sesuai hukum yang berlaku.


Hal yang dapat Anda lakukan untuk menghindari percampuran harta karena perkawinan

Jika Anda tidak menghendaki harta kekayaan yang Anda peroleh selama masa perkawinan menjadi harta bersama, Anda harus membuat perjanjian perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal-hal yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan ,diantaranya, adalah :
a) Ketentuan pembagian harta bersama termasuk prosentase pembagian harta bersama jika terjadi perceraian;
b) Pengaturan atau penanganan urusan keuangan keluarga selama perkawinan berlangsung;
c) Pemisahan harta selama perkawinan berlangsung, artinya harta yang anda peroleh dan harta suami terpisah sama sekali.


Membuat perjanjian perkawinan adalah hal yang penting untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dalam pembagian harta bersama.

Dalam perjanjian perkawinan juga dapat diatur ketentuan bahwa jika terjadi perceraian (termasuk cerai karena kematian), Anda berhak mendapatkan prosentase lebih dari separuh bagian apabila Anda tidak bekerja,dilarang bekerja, menanggung beban ganda, menanggung beban perwalian anak,mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan sebagainya. Jika Anda tidak membuat perjanjian perkawinan sebelumnya, Anda dapat melakukan musyawah mengenai besarnya pembagian harta bersama yang akan Anda terima.

Perjanjian perkawinan sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi disahkan oleh notaris dan dicatatkan dalam lembaga pencatatan perkawinan. Pada saat perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan. Bagi yang beragama Islam, perjanjian perkawinan dicatatkan di KUA dan bagi yang beragama non Islam dicatat di Kantor Catatan Sipil.


Cara mengajukan gugatan pembagian harta bersama

Bagi yang beragama Islam, gugatan harta bersama dapat diajukan ke Pengadilan Agama bersamaan dengan gugatan perceraian atau dapat juga diajukan terpisah setelah adanya putusan cerai. Anda dapat memilih prosedur mana yang sesuai dengan kepentingan Anda. Perlu Anda ketahui, jika pasangan Anda setuju bercerai tetapi tidak setuju dengan pembagian harta bersama, putusan cerai Anda bisa terhambat. Jadi, jika Anda menghendaki putusan cerai segera dilaksanakan maka sebaiknya Anda mengajukan gugatan pembagian harta bersama setelah adanya putusan cerai. Namun, jika Anda ingin menghemat biaya peradilan dan sudah ada kesepakatan pasangan suami–isteri untuk bercerai maka gugatan pembagian harta bersama sebaiknya diajukan bersamaan dengan pengajuan gugatan perceraian.
Pengadilan Agama berwenang memutuskan pembagian harta bersama berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut KHI, apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang pasangannya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Sementara, janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, gugatan harta bersama baru dapat diajukan setelah adanya putusan perceraian ke Pengadilan Negeri terkait.

Jika Anda tidak puas dengan putusan harta bersama yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri, Anda dapat mengajukan upaya hukum banding dalam jangka waktu 14 hari sejak Anda mengetahui atau menerima putusan Pengadilan tingkat pertama.


Permasalahan yang sering dihadapi perempuan ketika mengajukan gugatan harta bersama dan cara mengatasinya

1. Harta yang diperoleh dalam perkawinan biasanya dibeli atas nama suami dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan harta pun disimpan oleh suami.

Solusi: Walaupun harta atas nama suami, hal tersebut tidak menjadi masalah. Yang harus Anda lakukan adalah membuat foto kopi setiap dokumen yang berkaitan dengan harta bersama.
2. Sering kali isteri tidak tahu bahwa pembuktian merupakan hal penting dalam berperkara untuk dapat memperoleh hak atas harta bersama.

Solusi: Jika Anda ingin mengajukan gugatan cerai dan harta bersama, sebaiknya Anda mengumpulkan semua bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan harta bersama seperti sertifikat kepemilikan rumah, tanah, mobil dan kekayaan keluarga lainnya. Ini penting agar pada saat menggugat harta bersama isteri tidak mengalami kesulitan pada tahap pembuktian.
Apabila suami tidak mempunyai itikad baik untuk membagi harta bersama, sebaiknya jangan memberitahu suami kalau Anda berniat untuk mengajukan gugatan cerai dan harta bersama karena membuka kemungkinan suami "mengamankan" atau menyembunyikan dokumen-dokumen tersebut.

3. Jika Anda belum juga memiliki dokumen-dokumen yang diperlukan padahal Anda sudah ingin mengajukan gugat cerai, maka Anda mesti secepat mungkin menguasai secara fisik harta benda atau kekayaan yang bisa Anda kuasai. Hal ini penting dilakukan sebagai strategi agar pihak suami yang mengajukan gugatan harta bersama sehingga beban pembuktian ada di pihak suami.

Upaya yang dapat ditempuh jika suami menguasai harta bersama

Jika Suami tidak mau memberikan bagian harta bersama, berikut hal-hal yang dapat dilakukan oleh pihak isteri :

1. Melakukan upaya musyawarah atau mediasi dengan pihak suami untuk mencari titik temu dan membuat kesepakatan.

Dalam melakukan musyawarah dengan pihak suami, pihak isteri harus memperhitungkan biaya kehidupannya dan anak-anak serta kemampuannya untuk menanggung biaya-biaya atau pengeluaran dikemudian hari. Meskipun Anda tidak membuat perjanjian perkawinan sebelumnya, Anda tetap dapat melakukan musyawah mengenai besarnya pembagian harta bersama yang Anda terima yang akan dituangkan dalam perjanjian atau kesepakatan bersama. Jika selama perkawinan isteri tidak bekerja, dilarang bekerja, memiliki ketergantungan secara ekonomi pada suaminya maka isteri sebaiknya mengupayakan mendapat lebih dari separoh (seperdua) harta bersama atau sedikitnya separoh harta bersama. Dalam kondisi pihak isteri menanggung beban biaya menghidupi anak-anak, isteri mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), isteri bekerja sebagai pencari nafkah utama atau harta kekayaan diperoleh dari jerih payah isteri maka pihak isteri sangat dianjurkan untuk mengupayakan mendapat bagian lebih besar dari separoh harta bersama.

2. Tetap mempertahankan harta bagiannya dari harta bersama meskipun pihak suami melakukan teror dan intimidasi dan secepat mungkin mengajukan gugatan pembagian harta bersama.

3. Jika terjadi kekerasan atau ancaman kekerasan dari pihak suami, maka isteri harus secepat mungkin melaporkan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dialami ke kantor polisi terdekat. Anda juga dapat menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) terdekat atau LBH APIK di Jakarta dan daerah.

Bagaimana jika pihak suami tidak mematuhi putusan Pengadilan tentang pembagian Harta bersama? Upaya yang dapat Anda dapat tempuh adalah:

1. Melakukan upaya musyarawah dengan pihak suami dan jika diperlukan melibatkan pihak keluarga suami atau isteri dalam musyawarah tersebut;


2. Mengajukan upaya eksekusi putusan harta bersama yang telah memiliki kekuatan hukum tetap ke Pengadilan yang berwenang.

ADVOKAT

Penjelasan di dasarkan pada ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang ADVOKAT :

Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.

Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin ber-kembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

1.         Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
2.         Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
3.         Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat.
4.         Pembelaan diri adalah hak dan kesempatan yang diberikan kepada Advokat untuk mengemukakan alasan serta sanggahan terhadap hal-hal yang merugikan dirinya di dalam menjalankan profesinya ataupun kaitannya dengan organisasi profesi.
5.         Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien.
6.         Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu.
7.         Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
8.         Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
9.         Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
10.      Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
11.      Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
12.      Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
13.      Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
14.      Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
15.      Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.
16.      Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud  ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
17.      Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
18.      Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksuddiatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

KENDARAAN HILANG ? ANDA MENDAPAT GANTI RUGI !

Bagi masyarakat yang pernah kehilangan kendaraan, baik sepeda motor atau mobil bisa menggunakan dasar putusan Mahkamah Agung (MA) ini untuk minta ganti rugi pengelola parkir.

Lewat putusan Peninjauan Kembali (PK) tertanggal 21 April 2010, setiap penyedia layanan parkir wajib mengganti kendaraan yang hilang dengan sejumlah uang senilai kendaraan yang hilang. Putusan yang baru ini berdasarkan Permohonan PK Perkara 124 PK/PDT/2007 tertanggal 21 April 2010 yang diajukan oleh PT SPI, sebuah perusahaan layanan parkir. PT SPI meminta PK atas putusan kasasi yang memenangkan konsumennya, Anny R Gultom untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Sayangnya, putusan PK yang dibuat oleh 3 hakim agung yaitu Timur P Manurung, Soedarno dan German Hoediarto menguatkan putusan Kasasi yaitu PT SPI harus mengganti kendaraan yang hilang.

Dengan putusan tersebut maka PENGELOLA PARKIR TIDAK DAPAT LAGI BERLINDUNG dengan klausul baku pengalihan tanggung jawab yang berbunyi 'segala kehilangan bukan tanggung jawab pengelola parkir'," PK ini otomatis menguatkan 3 putusan di bawahnya yaitu putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta serta Putusan Mahkamah Agung. Artinya, PT SPI harus membayar mobil hilang senilai Rp. 60 juta. Dengan putusan ini maka telah menjadi Yurisprudensi dan harus diikuti oleh pengelola parkir dimana pun, tambahnya.

Nah, bagi masyarakat apabila kehilangan kendaraan d tempat parkir, bisa segera dimintakan ganti rugi. Apabila pengelola ingkar dan berdalih tak bertanggungjawab, Putusan MA ini bisa jadi landasan hukum menggugat. Mahkamah Agung (MA) lewat putusan Peninjauan Kembali (PK) 'menghukum' pengelola parkir untuk mengganti kendaraan yang hilang saat di parkir. Pengelola pun tak bisa lagi untuk mangkir.  Masyarakat bisa melawan dan berhak mendapat ganti rugi. Mengapa? 

Karena pada prinsipnya usaha perparkiran adalah penitipan barang sehingga berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata apabila barang yg dititipkan hilang maka harus diganti dengan wujud yang sama seperti barang yang dititipkan, Selain itu klausul baku pengalihan tanggung jawab bertentangan dengan Pasal 18 ayat 1a Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha mencantumkan klausul baku pengalihan tanggung jawab dalam menawarkan barang dan jasa. Jadi semakin jelas, tidak ada alasan apapun bagi pengelola untuk mangkir dari tanggung jawab. Seperti dengan klausul di tiket parkir yaitu segala kehilangan bukan tanggung jawab pengelola parki. 

Semoga ini memberi pelajaran bagi kita semua. Masyarakat mengerti haknya. Pengelola parkir juga mengerti tanggungjawabnya. Lewat putusan Peninjauan Kembali (PK), setiap penyedia layanan parkir wajib mengganti kendaraan yang hilang dengan sejumlah uang senilai kendaraan yang hilang.

Semoga bermanfaat.

PRODEO

Pada prinsipnya ber-perkara di Pengadilan dikenakan biaya (Pasal 121 ayat (4) HIR, Pasal 145 ayat (4) Rbg.

Apabila pihak tidak mampu membayar biaya perkara, maka pihak yang tidak mampu tersebut maka ia dapat mengajukan permohonan untuk berpekara secara Cuma-Cuma (Prodeo) sebagaimana diatur dalam Pasal 237-241 HIR/Pasal 273-277 Rbg, Pasal 242-243 HIR/ Pasal 278-281 Rbg, Pasal 12-14 Undang-undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan.

Apa itu Prodeo ?
Proses beperkara di pengadilan secara  cuma-cuma (gratis).

Siapa yang berhak ber-perkara secara Prodeo?
Orang yang dapat beperkara secara prodeo adalah warga negara yang tidak mampu (miskin) secara ekonomi

Kasus apa saja yang bisa diajukan secara prodeo?
Semua perkara pada dasarnya dapat diajukan secara prodeo, seperti :
§  Perceraian
§  Itsbat Nikah
§  Pemohonan wali  Adhol (wali yang tidak mau menikahkan anaknya)
§  Gugat Waris
§  Gugat Hibah
§  Perwalian Anak
§  Gugatan Harta Bersama
§  dll

Apakah permohonan beperkara secara prodeo pada pengadilan tingkat pertama juga berlaku pada tingkat banding atau kasasi?

Permohonan beperkara secara prodeo hanya berlaku untuk 1 tingkat peradilan. Jika Pemohon/Penggugat mengajukan banding atau kasasi maka Pemohon/Penggugat harus mengajukan permohonan baru untuk beperkara secara prodeo pada tingkat banding atau kasasi.

Apa saja Syarat yang Harus Dipenuhi untuk Mengurus Permohonan Prodeo?

Mempunyai Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Kelurahan/Desa (dan jika mempunyai dokumen lain seperti Jamkesmas/ Jamkesda/  Askeskin/ Gakin dapat dilampirkan)

Apa Hak Pemohon/Penggugat setelah prodeo dikabulkan?

Pemohon/Penggugat berhak mendapatkan semua jenis pelayanan secara Cuma-Cuma (gratis) yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara prodeonya dari awal sampai akhir.

Bagaimana Cara Mengurus SKTM?

Pemohon/penggugat datang ke Kelurahan/Desa dengan membawa:
§  Surat pengantar dari RT /RW
§  Kartu Keluarga/KK 
§  Kartu Tanda Penduduk/ KTP


LANGKAH-LANGKAH MENGAJUKAN PERMOHONAN PRODEO

Langkah 1. Datang ke Kantor Pengadilan Agama Setempat
  1. Datang ke Pengadilan Agama dan menemui bagian pendaftaran perkara.
  2. Membuat surat permohonan/gugatan untuk berperkara yang di dalamnya tercantum pengajuan berperkara secara prodeo dengan mencantumkan alasan-alasannya.
  3. Surat permohonan dapat dibuat sendiri (lihat Panduan Pengajuan Itsbat/Pengesahan Nikah atau Panduan Pengajuan Gugatan Cerai di Pengadilan Agama). Apabila anda tidak dapat membuatnya, anda dapat meminta bantuan kepada Pos Bantuan Hukum (Pos Bakum) pada pengadilan setempat jika sudah tersedia.
  4. Jika anda tidak dapat menulis (buta huruf), surat permohonan/gugatan dapat diajukan secara lisan dengan menghadap kepada Ketua Pengadilan setempat.
  5. Melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)

Langkah 2. Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan
·      Pengadilan akan mengirim Surat Panggilan yang berisi tentang tanggal dan tempat sidang kepada Penggugat/ Pemohon dan Tergugat/ Termohon secara langsung ke alamat yang tertera dalam surat permohonan/ gugatan.

Langkah 3. Menghadiri Persidangan
·       Datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam surat panggilan. Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan terlambat.
·       Setelah upaya perdamaian tidak berhasil dan surat permohonan/ gugatan tidak ada lagi perubahan, maka sebelum memasuki pokok perkara, Majelis Hakim memeriksa permohonan yang berkaitan dengan prodeo.
·       Majelis Hakim memberi kesempatan kepada termohon/tergugat untuk memberi tanggapan yang berkaitan dengan permohonan untuk berperkara secara prodeo
·       Pemohon/Penggugat mengajukan surat bukti seperti : SKTM (dan jika mempunyai dokumen lain seperti Jamkesmas/ Jamkesda/ Askeskin/ Gakin dapat dilampirkan). Terkadang juga diperlukan dua orang saksi (jika Hakim memerlukannya). Saksi adalah orang yang mengetahui alasan-alasan permohonan prodeo misalnya keluarga, tetangga, teman dekat, aparat desa, dll.

Langkah 4. Pengambilan Keputusan untuk Berperkara secara Prodeo
·           Majelis Hakim melakukan musyawarah mempertimbangkan dalil dan alat bukti yang berkaitan dengan permohonan prodeo dan jika dalam musyawarah tersebut Majelis Hakim menilai alasan Penggugat/Pemohon telah terbukti, maka Majelis Hakim memberikan keputusan dengan putusan sela yang isinya mengizinkan kepada Pemohon/Penggugat untuk berperkara secara prodeo. 

Langkah 5. Proses Persidangan Perkara
·           Proses persidangan dilakukan sesuai dengan perkara yang diajukan berdasarkan tahapan-tahapan yang ditetapkan dalam hukum acara sampai adanya putusan pengadilan yang salah satu isinya menyatakan membebankan biaya perkara kepada negara melalui DIPA Pengadilan Agama setempat.

PERKAWINAN BEDA AGAMA

Pengaturan Perkawinan Beda Agama Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia

peraturan mengenai perkawinan beda agama dalam peraturan-peraturan produk pemerintah di Indonesia diatur dalamPeraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR), Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Untuk mengetahui secara lebih mendetail tentang pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia, dalam uraian berikut akan dipaparkan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia.

Dalam Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR), beberapa ketentuan tentang perkawinan beda agama adalah sebagai berikut:

Pasal 1 :
Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.

Pasal 6 ayat (1) :
Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitrakawin yang selalu disyaratkan.

Pasal 7 ayat (2) :
Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.

Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untukmencegah terjadinya perkawinan.

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan beda agama adalah pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf f dan pasal 57.

Pasal 2 ayat (1) menyatakan :
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal 8 huruf f menyatakan :
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,dilarang kawin.

Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan :
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di bawah.

Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dari wanita muslim dengan laki-laki non-muslim.

Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab).

Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam.

Sedangkan Pasal 44 menyatakan sebagai berikut:
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-Kitab.

Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan.

Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkanpelarangan perkawinan beda agama.

Beberapa Pandangan Atas Perkawinan Beda Agama Di Indonesia

Para pakar hukum berbeda pendapat tentang perkawinan beda agama dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hal ini disebabkan karena undang-undang tersebut tidak menyebut secara tertulis/tekstual/eksplisit (expressis verbis) mengenai perkawinan beda agama.

Pada garis besarnya ada tiga pandangan tentang perkawinan beda agama di Indonesia terkait dengan pemahaman terhadap Undang-undanG Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :

  1. Perkawinan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu perkawinan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum.

  1. Perkawinan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat dilangsungkan, sebab perkawinan tersebut termasuk dalam perkawinan campuran.

Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57 tentang perkawinan campuran terletak pada “dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal tersebut tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda agama.
Menurut pendapat ini pelaksanaan perkawinan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran.

  1. Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang masalah perkawinan beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66 Undang-undang Perkawinan maka peraturan-peraturan lama selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran.

Sehubungan dengan pandangan kelompok ketiga ini menarik untuk dicatat bahwaKetua Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam suratnya No. KMA/72/IV/1981 tanggal 20 April 1981 yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri secara tegas menyatakan:

1). Merupakan suatu kenyataan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang
serba majemuk ini yang terdiri dari berbagai macam golongan suku, adalah
pemeluk agama dan penganut Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
yang berbeda satu dengan lainnya.

2). Adalah suatu kenyataan pula bahwa antar mereka itu, ada yang menjalin suatu
hubungan dalam memebnetuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal melalui
proses perkawinan, di mana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan belum mengatur perihal perkawinan campuran.

3). Meskipun demikian dapat dicatat bahwa Pasal 66 Undang-undang Perkawinan
memungkinkan S.1898 No. 158 diberlakukan untuk mereka sepanjang
Undang-undang Perkawinan belum mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan perkawinan campuran dimaksud.

Di samping ketiga pendapat di atas ada pula yang berpandangan bahwa Undangundang Perkawinan perlu disempurnakan sebab ada kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama.

Pentingnya penyempurnaan Undang-undang tersebut disebabkan karena beberapa hal yaitu, pertama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama, kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural yang menyebabkan perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan, ketiga, persoalan agama adalah menyangkut hak asasi seseorang, dan keempat, kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak dapat dibiarkan begitu saja sebab akan dapat mendorong terjadinya perzinaan terselubung melalui pintu kumpul kebo/samen leven.

Mayoritas kelompok muslim di Indonesia berpandangan bahwa Undang-undang perkawinan tidak perlu disempurnakan dengan mencantumkan hukum perkawinan beda agama dalam Undang-undang tersebut sebab mereka berpendapat bahwa Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 telah mengatur hukum perkawinan beda agama dengan tegas dan jelas.

Mencermati pendapat-pendapat di atas penulis memiliki pendapat yang berbeda yaitu bahwa Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menurut penyusun -sejalan dengan pendapat M. Idris Ramulyo dan Watik Pratiknya-memang tidak secara eksplisit mengatur perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita nonmuslim ataupun antara wanita muslim dengan laki-laki non-muslim, namun Undangundang tersebut secara tegas menyerahkan sah atau tidaknya perkawinan kepada agama dan kepercayaan yang dianut oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.

Kesimpulan ini didasarkan pada pengamatan terhadap bunyi pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 2 ayat (1) berbunyi:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Sedangkan Pasal 8 huruf f berbunyi :
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
g. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Dari bunyi pasal-pasal di atas dapat disimpulkan bahwa mengenai sah atau tidaknya sebuah perkawinan diserahkan kepada aturan yang terdapat dalam agama atau kepercayaan yang dianut oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.

Sedangkan salah satu sebab dilarangnya perkawinan adalah adanya hubungan antara dua orang yang menurut agama dilarang kawin. Dengan demikian maka undang-undang ini tidak mengatur tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita nonmuslim dan secara tegas menyerahkan sah atau tidaknya perkawinan tersebut kepada aturan yang terdapat dalam agama atau kepercayaan yang dianut.

Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur
tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;
d. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
e. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
f. seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab).

Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang
dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan Pasal 44 menyatakan sebagai berikut:

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang priayang tidak beragama Islam.

Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-Kitab.


Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
(3) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
(4) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan.

Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan beda agama.

Pengesahan Kompilasi Hukum Islam dengan menggunakan Instruksi Presiden Instruksi No.1 Tahun 1991 dan tidak mengggunakan undang-undang memunculkan dua pandangan yang berbeda mengenai kekuatan hukum Kompilasi Hukum Islam, dikalangan Ahli Hukum ada yang mengatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam berkekuatan mengikat (imperatif) dan ada yang mengatakan tidak mengikat (fakultatif).

Argumen yang diajukan kelompok pertama yang menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam berkekuatan mengikat (imperatif) adalah bahwa meskipun Inpres tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR No. V/MPR/1973 namun Instruksi Presiden mempunyai kedudukan yang sama dengan Keputusan Presiden, dan keduanya mempunyai posisi yang sama dengan Undang-Undang.

Oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam mempunyai kekuatan mengikat secaraimperatif.

Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam konsideran Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 dinyatakan sebagai berikut:

a. Bahwa Alim Ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.

b. bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.

c. bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a perlu disebarluaskan. kata sebagian pedoman dalam konsideran di atas menurut Abdurrahman
-sebagaimana dikutip oleh A. Rafiq- harus dipahami sebagai tuntutan atau petunjuk yang harus dipakai baik oleh Pengadilan Agama maupun warga masyarakat dalam menyelesaikan sengketa mereka dalam bidang hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.

Adapun argumen yang diajukan oleh kelompok kedua yang menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak mengikat (fakultatif) adalah bahwa Inpres tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam TAP MPRSNo. XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR No. V/MPR/1973, dengan demikian maka Kompilasi Hukum Islam tergolong hukum yang tidak tertulis sebab Inpres tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia.

Argumen lain yang diajukan adalah bahwa dalam konsideran point b InstruksiPresiden No.1 Tahun 1991 dinyatakan:

bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. Kata-kata dapat dipergunakan sebagai pedoman menunjukkan bahwa kompilasi Hukum Islam tidak mengikat secara imperatif. Oleh karena itu para pihak dapat menjalankannnya dan dapat pula meninggalkannya, sesuai dengan kebutuhan dankeperluannya.

Dengan demikian maka pedoman di sini memiliki pengertian bersifat fakultatif. Oleh karenanya dalam praktek, orang yang mengeyampingkan Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dipersalahkan telah melanggar hukum.


Perkawinan Antara Muslim Dengan Non Muslim Dalam Wacana Agama

Dalam konsep konvensional maupun kontemporer (modernis) perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim telah disepakati keharamannya. Adapun pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslimah masih terdapat perbedaan di kalangan Ulama. Sebagian ketentuan tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim diuraikan sebagai berikut:

1. Hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita bukan ahli Kitab
Mazhab Syafi’i –sebagaimana ditulis oleh Dr. Wahbah az-Zuhailiberpendapatbahwa pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita kafir selain ahli kitab seperti watsani, majusi, penyembah matahari atau bulan, murtad adalah tidak sah(batal) berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 221. As-Syirazi dalam al-Muhazzab menegaskan bahwa laki-laki muslim haram menikah dengan orangperempuan yang bukan ahli kitab yaitu orang-orang kafir seperti penyembah berhala dan orang murtad berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221.
Sedangkan al-Malibari menyebutkan bahwa syarat wanita yang dapat dinikah adalah wanita muslimah atau kitabiyyah Khalishah.

Al-Jazairi menyebutkan bahwa berdasarkan surat al-Baqarah ayat 221 makalaki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrik apapun bentukkemusyrikannya kecuali kalau ia masuk Islam. Ketentuan ayat di atas ditakhsis oleh surat al-Maidah ayat 5 yang menunjukkan bahwa wanita ahl al-Kitab boleh dinikahi, walaupun mereka mengatakan bahwa al-Masih adalah Tuhan. Wahbah az-Zuhailmenyebutkan bahwa tidak halal bagi laki-laki muslim menikahi wanita musyrikah atau wtsaniyyah yaitu wanita yang menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah dan selain mereka menyamakan orang murtad dengan  musyrik.

Kesimpulannya adalah telah terjadi kesepakatan tentang tidak halalnya menikahi wanita yang tidak memiliki kitab seperti watsaniyyah dan Majusiyyah. Ibnu Rusyd -dalam fasal tentang penghalang menikah sebab kafirmenyatakanbahwa para Ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanitawatsaniyyah. Sejalan dengan Ibn Rusyd, Hasbi ash-Shiddieqi menyebutkanbahwa hukum tentang tidak bolehnya menikahi wanita watsaniyah (penyembah berhala) telah disepakati oleh Imam Mazhab.

2. Hukum nikah laki-laki muslim dengan wanita ahli Kitab

Bolehnya pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli Kitab telah disepakati oleh semua Imam Mazhab. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para Ulama telah sepakat tentang bolehnya laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyyah yang merdeka.

As-Syirazi dalam al-Muhazzab menyebutkan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita merdeka ahl Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan orang yang masuk agama mereka sebelum adanya tabdil/penggantian. Sedangkan al-Malibari menyebutkan bahwa kemusliman dan keahlikitaban adalah syarat bagi wanita yang dapat dinikahi oleh laki-laki muslim.

Al-Jazairi menyebutkan bahwa wanita ahli kitab yang boleh dinikahi tidak disyaratkan kedua orang tuanya harus ahli kitab, berbeda menurut as-Syafi’iyyah dan Hanabilah yang mensyaratkan kedua orangtuanya harus ahli kitab.

Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa Ulama telah sepakat terhadap bolehnya menikahi wanita kitabiyyah yaitu wanita yang meyakini agama samawi
seperti Yahudi dan Nasrani.

Sedang yang dimaksud dengan ahli kitab adalah ahlu at-Taurah dan Injil. Mengenai halalnya menikahi wanita kitabiyyah tidak ada syarat apapun menurut Jumhur sedangkan menurut Ulama Syafi’iyyah halalnya menikahi Israiliyyah dengan syarat awal moyangnya masuk agama Yahudi sebelum dinasah dan adanya perubahan, apabila terjadi keraguan tentang hal tersebut, menikahi israiliyyah juga tidak halal.

Sedangkan halalnya menikahi wanita nashraniyyah dengan syarat awalmoyangnya masuk agama tersebut sebelum dinasah dan sebelum terjadinya tahrif/pengrubahan. Menurut Wahbah pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan apapun bagi kebolehan menikahi wanita kitabiyyah adalah lebih rajih dibanding pendapat As-Syafi’iyyah.


Dalam pandangan muslim modernis yang dalam tulisan ini merujuk kepada pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Mengenai perkawinan lakilaki muslim dengan wanita musyrikah menurut Muhammad Abduh sebagaimana dinukilkan oleh Rasyid Ridha adalah diperbolehkan selain wanita musyrikah Arab, hal ini dilatar belakangi oleh penafsirannya terhadap kata Musyrikah dalam surat al-Baqarah ayat 221, ia secara tegas menyatakan bahwa perempuan yang haram dikawini oleh laki-laki Muslim dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah perempuan-perempuan Musyrikah Arab.

Jadi menurut pendapat ini seorang Muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah dari bangsa non-Arab seperti Cina, India dan Jepang (sebab masuk dalam kategori ahli kitab).

Sedangkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita kitabiyyah adalah
diperbolehkan, hal ini didasarkan pada ayat 5 surat al-Maidah:
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, Makanan (sembelihan) orangorang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu.”

Menurut Abduh ahl al-Kitab mencakup penganut agama Yahudi, Nasrani, dan Shabiun.
Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa ahl al-Kitab mencakup Yahudi, Nasrani,
Majusi, Shabi’un, Hindu, Budha, Kong Fu Tse (Kong Hucu) dan Shinto.

Dalammenetapkan keahlikitaban satu ummat, Ridha menggunakan kriteria memiliki kitab suci dan atau mengikuti nabi yang dikenal, baik dalam tradisi agama Ibrahim maupun bukan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa muslim modernis memandang bahwa diperbolehkan terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim yang masuk dalam cakupan makna ahl al-Kitab dan wanita itu tidak termasuk musyrikah Arab.

Dengan demikian menurut pandangan ini maka laki-laki muslim Indonesia bolehmenikah dengan wanita non muslim yang beragama Yahudi, Nasrani/Kristen, Hindu, Budha, Kong Hucu, Shinto, Majusi dan Shabi’un.

Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bagi kelompok yang yang
meyakini bahwa Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c yang secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab) adalah bersifat imperatif maka pernikahan beda agama di Indonesia tidah sah menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dan batal demi hukum. Sedangkan bagi kelompok yang meyakini bahwa Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 huruf c yang secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim).

Ketentuan Pesangon

  Ketentuan pemberian pesangon jika terjadi PHK Dalam Pasal 154A Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan alasan-alasan terjadinya Pemutusan Hub...