Jumat, 24 Juli 2015

10 (Sepuluh) Peristiwa Menarik tentang Advokat di Tahun 2014

Tahun 2014 baru saja berlalu. Di tahun tersebut, banyak peristiwa hukum menarik yang terjadi. Khusus untuk dunia advokat, hukumonlinemerangkum sekitar 10 peristiwa yang layak disebut menarik.
Dari 10 peristiwa itu, sebagian berkaitan dengan perkembangan organisasi, sebagian lagi berkaitan dengan kasus-kasus hukum. Bahkan, ada juga peristiwa yang berkaitan dengan gaya hidup advokat. Sayangnya, tidak semua peristiwa itu positif. Untuk lengkapnya, silakan simak daftar “10 Peristiwa Menarik tentang Advokat di 2014” di bawah ini:

1.    PERADI Gelar Ujian Advokat Asing
Akhir Februari 2014, untuk pertama kalinya ujian advokat diberlakukan kepada advokat asing yang hendak dan akan bekerja di kantor-kantor hukum di Indonesia. Ujian advokat asing ini adalah prasyarat bagi advokat asing yang ingin mendapatkan surat rekomendasi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

PERADI menilai ujian bagi advokat asing ini diperlukan agar Kode Etik Advokat Indonesia dapat juga ditegakkan kepada mereka. Berdasarkan pengumuman di lamanwww.peradi.or.id2 dari 57 peserta yang mengikuti ujian advokat asing ini dinyatakan tidak lulus.

2.    OC Kaligis Mundur dari PERADI
Advokat yang terbilang senior, Otto Cornelis Kaligis (OCK) menyatakanmundur dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Pengunduran diri ini terkait dengan putusan Majelis Kehormatan Daerah PERADI yang menghukum skorsing OCK selama 12 bulan karena pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia.

OCK sempat mengajukan banding, tetapi hasilnya, Majelis Kehormatan Pusat PERADI menyatakan tetap pada putusan tingkat pertama. Juli 2014, seraya menuding petinggi PERADI tidak adil, OCK pun memutuskan mundur dari PERADI.

3.    PERADI Lantik Pengurus PBH
Sempat vakum untuk beberapa waktu, Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH PERADI) dihidupkan kembali. Bertempat di Pusat Kebudayaan Jerman, Goethe Institute, Jakarta, Ketua Umum DPN PERADIOtto Hasibuan melantik Rivai Kusumanegara sebagai Ketua Dewan Pengurus PBH PERADI beserta jajarannya pada 20 Mei 2014.

4.    Advokat Terjerat Korupsi
Jumlah advokat yang terjerat kasus korupsi bertambah. Februari 2014, advokat Susi Tur Andayani menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Susi didakwa menjadi perantara suap (mantan) Ketua MK M. Akil Mochtar terkait penanganan sengketa Pilkada Lebak dan Lampung Selatan di MK. Empat bulan berselang, Susi divonis bersalah  dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp150 juta subsidair tiga bulan kurungan.

5.    Perpecahan KAI Pasca Kongres
Kongres Advokat Indonesia (KAI) dirudung perpecahan. Dua perhelatanKongres KAI digelar secara bersamaan. Kongres yang  digelar di Palembang pada 25-27 April 2014 gagal memilih presiden baru, proses pemilihan kemudian berlanjut ke Jakarta yang menghasilkan Tjoetjoe Sandjaja sebagai Presiden KAI.

Sementara, Kongres KAI yang digelar Komite Penyelamat Organisasi (KPO KAI) di Jakarta memunculkan nama Erman Umar sebagai Presiden KAI.

6.    PERADI Gelar Friendly Match
Pererat hubungan dengan komunitas advokat negara tetangga, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) menggelar pertandingan persahabatan dua cabang olahraga, yakni sepakbola dan bulu tangkis. Pertandingan persahabatan pertama, tim PERADI bertandang ke Singapura untuk melawan tim Law Society of Singapore pada Juni 2014. Lalu, November 2014, PERADI menjadi tuan rumah untuk menyambut The Malaysian Bar.

7.    Pertarungan Advokat di Sengketa Pilpres
Kancah politik juga bisa menjelma menjadi pertempuran advokat. Tidak puas dengan hasil akhir Pemilu Presiden 2014 yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Prabowo Subianto mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Nama-nama advokat beken seperti Maqdir Ismail, Taufik Basari, dan Adnan Buyung Nasution, hadir di ruang sidang MK membela tiga kubu yang berkepentingan yakni kubu Prabowo, kubu KPU, dan kubu Jokowi.

8.    Pro Kontra RUU Advokat
Pembahasan RUU Advokat yang dilakukan DPR masa bakti 2009-2014 menuai banyak pro kontra di kalangan advokat, akademisi, ataupun LSM. Puncak dari pro kontra ini terjadi ketika dua organisasi advokat di Indonesia secara bersamaan menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR, Rabu (24/9).

9.    Ganteng-Ganteng Lawyer
Kehidupan advokat tidak melulu serius, berkutat dengan berkas perkara. Kemunculan “Ganteng-Ganteng Lawyer” (GGL), sebuah akun instagram berisi daftar advokat berparas tampan, di media sosial internet menjadi buktinya. Sejak hadir medio tahun 2014, GGL menjadi perdebatan hangat kalangan advokat di dunia maya.

10. ALB Indonesia Law Awards
Penyedia informasi hukum dan bisnis, Asian Legal Business (ALB) memprakarsai sebuah ajang penghargaan kepada firma hukum, advokat dan tim hukum perusahaan yang dinamakan “ALB 2014 Indonesia Law Awards”. Total terdapat 23 penghargaan yang diperebutkan dalam ajang yang digelar pada 28 Oktober 2014 itu. Menjadi nominator di 17 kategori, Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP) berhasil memborong penghargaan terbanyak.

Mengapa Pengacara Memakai Toga Hitam…?

Hampir di seluruh dunia, para pengacara atau penasehat hukum selalu menggunakan toga hitam di persidangan, terutama dalam persidangan perkara-perkara pidana (penal). Bagaimana hal ini bermula? Apa asal usulnya?

Pada suatu petang di tahun 1791, tepatnya di Perancis, seorang hakim tengah duduk-duduk beristirahat di beranda rumahnya. Rumahnya yang asri dan berhalaman luas sangat cocok untuk menenangkan fikiran setelah seharian bekerja sebagai pengadil.


Tapi sebuah kejadian tak terduga terjadi di sore itu. Tatkala sang Hakim duduk rehat, tiba-tiba dia melihat di depan rumahnya itu dua orang yang sedang berkelahi. Karena hebatnya perkelahian, akhirnya salah seorang di antaranya terbunuh.


Melihat lawannya tumbang tak bergerak, sang pembunuh lari kabur meninggalkan lokasi. Tak beberapa lama kemudian, seorang pejalan kaki lewat dan melihat jasad korban. Dengan segera, pejalan kaki itu mengangkat jasad tak berdaya itu dan membawanya ke rumah sakit. Tapi sayang, baru beberapa langkah, pria itu pun tewas tak terselamatkan. Semua kejadian itu dilihat sang Hakim di depan matanya.


Tak lama, polisi datang dan menangkap pejalan kaki tersebut, dan dengan segera ia jadi tersangka pembunuhan. Ketika diseret ke persidangan sebagai terdakwa, sang Hakim itu pula yang menjadi pengadilnya.


Meski sang Hakim melihat sendiri kejadian yang sebenarnya dengan mata kepala sendiri, tapi berdasarkan hukum acara pidana Perancis (setidaknya kala itu) yang mendasarkan hukum atas fakta-fakta dan alat-alat bukti yang ada, maka dengan berat hati, pria tersebut dinyatakan bersalah oleh sang hakim sehingga ia divonis hukuman mati!


Setelah menjatuhkan putusan, berhari-hari lamanya sang Hakim dirundung gundah. Nuraninya gelisah. Jiwanya berontak, antara aturan hukum dan keadilan… Sang hakim tidak dapat tidur dengan tenang.


Karena tak tahan dengan kegelisahan, akhirnya pada suatu hari ia berpidato di depan umum bahwa ia telah salah menjatuhkan hukuman mati atas pria tersebut.
Mendengar pengakuan itu, rakyat pun heboh. Caci maki dan sumpah serapah mereka layangkan kepada sang pengadil. Ia dikatai sebagai hakim yang tidak berhati nurani, hakim yang bodoh, kaku, letterlijk dan lain sebagainya.


Waktu pun berlalu, dan kehebohan tentang kontroversi vonis mati itu telah meredup.
Pada suatu hari, ketika sang hakim bersidang seperti biasa, tiba-tiba seorang pengacara hadir di hadapannya dengan memakai toga berwarna hitam. Pengacara itu tengah membela seorang terdakwa yang sedang diadili sang hakim.


“Mengapa engkau memakai pakaian hitam seperti ini?”. Tanya sang hakim penuh heran kepada pengacara tersebut.


“PAKAIAN HITAM INI ADALAH UNTUK MENGINGATKAN ENGKAU ATAS KEKEJAMANMU BEBERAPA WAKTU LALU KETIKA ENGKAU MEMVONIS MATI ORANG YANG TIDAK BERSALAH!”. Jawab pengacara tersebut dengan tegas.


Sejak itulah, para pengacara di Perancis menggunakan toga hitam ketika bersidang. Dari Perancis, kebiasaan ini menyebar hampir ke seluruh pengadilan di dunia.


http://www.putramelayu.web.id/2013/04/mengapa-pengacara-memakai-toga-hitam.html?m=0#_

Sejarah Kelam Dibalik Ungkapan “Fiat Justitia Ruat Coelum”

“Tegakkan Keadilan Meski Langit Runtuh”


Suatu hari Kaisar Alexander Agung kedatangan seorang pelaut, duta dari laut Adriatik. Sang kaisar iseng dan bertanya kepadanya: apa yang paling kau takuti di dunia ini? si Pelaut menjawab: saya tidak dapat membayangkan jika langit runtuh dan bintang-bintang berjatuhan menimpa tubuh kita. Alexander ternganga, sama sekali tidak menyangka akan jawaban si pelaut. Selama ini ia berharap dirinyalah yang paling ditakuti di dunia ini. Ternyata si pelaut membukakan pikirannya, ternyata yang ditakuti manusia di dunia pada jaman itu adalah jika langit runtuh. Hal ini dikarenakan pada masa itu manusia percaya bahwa bumi berada diatas pundak Atlas dan jika Atlas merasa kelelahan, atau Atlas sakit, maka bumi akan tergelincir dari pundaknya, yang kemudian membentur langit. Itu artinya, langit akan runtuh dan bintang-bintang berjatuhan menimpa manusia. Sejak saat itu, kejadian antara Alexander dan si pelaut menyebar hingga seantero wilayah kekuasaan Romawi sehingga orang-orang Romawi sering berkata: “Quild si nuc caelum ruat?” (Bagaimana jika sekarang langit akan runtuh?)

Selanjutnya kita tinggalkan kisah singkat Sang Kaisar dan sang Pelaut diatas. Perumpamaan langit runtuh sebagai sesuatu hal yang paling ditakuti orang sering dijadikan perumpamaan untuk menandai kondisi paling buruk di dunia. Hal ini berlangsung selama berabad-abad, hingga suatu saat alkisah seorang gubernur Romawi Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, pada tahun 43 SM, berpidato dihadapan rakyatnya. Sebagaimana dikisahkan oleh Seneca dalam naskah drama yang berjudul “Piso’s Justice”, pada bagian sub judul “De Ira” (kemarahan), mengisahkan Piso pada suatu hari memberikan ijin kepada 3 orang serdadu untuk mengambil cuti untuk mengunjungi keluarganya, dengan perintah setelah masa cuti si serdadu tersebut berakhir, mereka harus menghadap dirinya guna melapor kedatangan mereka. Setelah masa cuti berakhir, yang datang menghadap hanya satu orang. Kemudian Serdadu tersebut ditanya kemana kedua orang rekannya tersebut yang juga diperintahkan untuk menghadap dan melapor kepada dirinya. Serdadu tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan Piso. Akhirnya Piso naik pitam dan langsung menggelar sidang atas serdadu tersebut. Sidang memutuskan bahwa serdadu tersebut dianggap telah membunuh kedua orang rekan kerjanya dan dihukum dengan hukuman mati. Ketika si serdadu hendak dieksekusi mati, tiba-tiba datanglah kedua orang rekannya yang diduga telah meninggal tadi. Si Algojo pun lantas menunda eksekusi dan menghadap Piso untuk melaporkan hal tersebut. Akhirnya Piso naik mimbar dan berpidato. Dalam pidatonya dengan lantang Ia mengatakan hukum telah ditetapkan dan “Fiat Justitia Ruat Coelum”. “Keadilan harus ditegakkan meski langit runtuh!!” Akhirnya Serdadu tetap dihukum mati, si algojo dihukum mati karena menunda eksekusi serta kedua orang serdadu yang diduga mati tersebut juga dihukum mati karena keterlambatannya menghadap, menyebabkan rekannya dihukum mati. Sejak saat itu ungkapan “Fiat Justitia Ruat Coelum” melegenda. Dalam perkembangannya, ungkapan Piso tersebut biasa dijadikan palsafah bagi para pejabat tiran guna melakukan kesewenang-wenangan asalkan “hukumnya telah ditetapkan”. Jadi makna ungkapan “Fiat Justitia Ruat Coelum” menurut Piso adalah “apapun yang terjadi, suatu keputusan hukum tetap harus dilaksanakan !!!” Tak peduli apakah hukum tersebut benar atau salah, karena yang dinamakan keadilan adalah apa yang telah diputuskan oleh Penguasa melalui persidangan. Hal ini demi kewibawaan hukum dan pemerintahan. Sebegitu populernya ungkapan ini sampai Kaisar Kerajaan Roma, Ferdinand I, mencontek dengan membuat semboyan kerajaann, “Fiat justitia et pereat mundus” (tegakkan keadilan sekalipun semua penjahat di dunia musnah).

Berabad-abad berlalu, ungkapan ini pun mulai tenggelam dan dilupakan, sampai akhirnya pada tahun 1601, William Watson, sastrawan Inggris pertama kali memunculkan ungkapan ini di era modern. Dalam salah satu karyanya yang berjudul, “Ten Quodlibetical Quotations Concerning Religion and State” menyatakan “Anda melanggar istilah yang lazim dalam perundangan, yaitu Fiat justitia et ruant coeli”. selanjutnya beberapa penyair Inggris lainnya juga menggunakan ungkapan Fiat Justitia Ruat Coelum dalam karya-karyanya. Para penyair tersebut diantaranya: William Prynne dalam buku “Fresh Discovery of Prodigious Wandering New-Blazing Stars” (1646) dan Nathaniel Ward (“Simple Cobbler of Agawam).
Sampailah pada saat sekarang, Ironis memang, dengan sejarah kelam terciptanya ungkapan “Fiat Justitia Ruat Coelum”, para penegak hukum justru malah bangga mencantumkan dan mengucapkan Fiat Justitia Ruat Coelum. Hakim sering kali mencantumkan ungkapan ini dalam putusannya. Lord Masnfield, dalam putusan perkara Somersett, Juni 1772 tentang penghapusan perbudakan di Inggris, memasukkan kalimat itu dalam putusannya. Di Amerika Serikat, “Fiat justitia” tertulis di bagian bawah lukisan Ketua Hakim Agung, John Marshall. Di Indonesia pada waktu sekitar tahun 1950, ada hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hendak menampar seorang pengacara yang menawarkan sejumlah uang guna memenangkan perkaranya. Pengacara itu dikejar sampai ke jalanan Gajah Mada, Jakarta. Hakim tersebut mencaci maki Pengacara dan mengatakan : 

“Fiat Justitia Ruat Coelum”. Bahkan Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) menggunakan ungkapan “Fiat Justitia Ruat Coelum” sebagai semboyan organisasi dan tercantum dengan jelas dalam lambangya.

Apakah selama ini kita keliru memuja dan mengelukan ungkapan dari mulut Piso, yang nyata telah secara kejam menghukum mati 3 orang serdadu Romawi yang tidak seharusnya mati? Apakah selama ini kita keliru karena mengagungkan ungkapan yang digunakan para tirani dalam melakukan kesewenang-wenangan menghukum orang-orang tak bersalah demi kekuasaan dengan syarat: “Hukuman Telah Ditetapkan?” Apakah selama ini kita hanya latah meniru orang-orang barat yang sesat? Hal ini rupanya perlu perenungan dan pengkajian yang lebih mendalam, tetapi yang jelas ajaran Agama pada umumnya mendeskripsikan runtuhnya langit sebagai suatu pertanda kiamat, dimana tidak ada satu manusiapun yang dapat membela dirinya, apalagi menegakkan hukum manusia itu sendiri, karena yang berlaku pada saat itu adalah hukum Tuhan, dimana semua manusia tunduk dihadapan-Nya.

http://rhplawoffice.blogspot.com/2011/12/sejarah-kelam-terciptanya-ungkapan-fiat.html

Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Tersangka dalam Penyidikan

Pasal 1 butir 14 KUHAP Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Hak-hak tersangka dalam proses penyidikan tetaplah harus dikedepankan tanpa mengabaikan kewajibannya. Meskipun tersangka diduga sebagai pelaku kejahatan atau tindak pidana namun tersangka juga sebagai warga Negara Indonesia yang perlu mendapat perlindungan hukum sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sekurang-kurangnya ada 7 (tujuh) kelompok hak-hak tersangka/terdakwa menurut Nikolas Simanjuntak:
  1. Hak untuk segera diperiksa
  2. Hak untuk melakukan pembelaan
  3. Hak tersangka/terdakwa selama dalam penahanan
  4. Hak terdakwa selama dalam persidangan
  5. Hak terdakwa untuk melakukan upaya hukum biasa
  6. Hak tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi
  7. Hak terdakwa setelah putusan pengadilan diucapkan di persidangan[1]

Pertama, hak untuk segera diperiksa. Pasal 50 KUHAP menentukan pemeriksaan segera untuk: (a) di penyidikan, (b) diajukan ke sidang pengadilan, (c) diadili dan mendapat putusan pengadilan. Implikasi dari perintah segera memeriksa tersangka tidak mengandung sanksi yang tegas kepada pejabatnya. Tolak ukur sanksi yang bisa digunakan hanyalah batas waktu jangka penahanan selama jumlah hari yang disebut dalam KUHAP.
Kedua, hak untuk melakukan pembelaan. Diatur dalam Pasal 51-57 KUHAP. Hak-hak pembelaan ini meliputi sekurang-kurangnya 8 (delapan) hal, yakni:
(a)    Berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti dalam bahasa sehari-hari
(b)   Hak pemberitahuan itu mulai berlaku mulai pada waktu pemeriksaan
(c)    Pemberitahuan itu juga terhadap apa yang didakwakan di persidangan pengadilan. Maksudnya, supaya tersangka memahami dan menyadari resiko berat ringannya atas tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya
(d)   Hak memberikan keterangan secara bebas di semua tingkat pemeriksaan
(e)    Berhak mendapat juru bahasa
(f)    Berhak mendapat bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan dan setiap waktu yang diperlukan
(g)   Bebas memilih penasehat hukumnya
(h)   Wajib didampingi penasehat hukum dalam hal tersangka dipersangkakan tindak pidana dengan ancaman hukuman mati, 15 tahun ke atas atau 5 tahun.
Ketiga, hak tersangka selama masa penahanan. Hak-hak ini pada intinya sebagai hak informasi pribadi dalam Pasal 58-65 KUHAP, yang meliputi sekurang-kurangnya 6 (enam) hal:
(a)    Menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan untuk proses perkara atau yang tidak berhubungan dengan itu
(b)   Pemberitahuan status dan tempat penahanan kepada pihak keluarga atau orang yang serumah dengannya
(c)    Hak menerima kunjungan keluarga dan advokat
(d)   Hak atas kunjungan sanak keluarga untuk kepentingan pekerjaan atau urusan kekeluargaan, yang tidak ada hubungan dengan perkara tersangka
(e)    Hak untuk surat-menyurat dengan advokat atau sanak keluarga
(f)    Hak untuk kunjungan rohaniawan
Keempat, hak terdakwa selama dalam persidangan, terdiri atas:
(a)    Hak terdakwa untuk diadili pada sidang yang terbuka untuk umum
(b)   Hak untuk mengajukan saksi yang meringankan (a de charge) atau saksi ahli yang menguntungkan terdakwa
(c)    Hak untuk tidak dibebani pembuktian
Kelima, hak terdakwa untuk melakukan upaya hukum biasa seperti banding dan kasasi, juga upaya hukum luar biasa untuk peninjauan kembali.
Keenam, hak tersangka untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi, menurut Pasal 95-97, dalam bentuk gabungan tuntutan dengan ganti kerugian.
Ketujuh, hak terdakwa setelah putusan pengadilan diucapkan di persidangan.


[1] Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Cetakan I, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, h. 119-124.

Tinjauan Umum tentang Penyidikan

Pasal 1 butir (2) KUHAP “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”[1]

Rumusan itu mengandung sekurang-kurangnya tiga unsur sebagai kata kunci, yakni (1) bukti yang dicari dan dikumpulkan, (2) tindak pidana menjadi terang, dan (3) tersangka ditemukan.

Kesejajaran makna di atas dengan penyilidikan masih tampak tetapi beratnya sudah berbeda. Pasal 1 butir (5) KUHAP, “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”[2]

Sekurang-kurangnya ada empat unsur pokok di dalam kesatuan arti penyidikan itu, yakni (1) orang/pejabat yang menjadi penyelidik, (2) tindakan mencari dan menemukan, (3) dugaan peristiwa, dan (4) berlanjut/ tidak ke tahap penyidikan.

Mencari di dalam penyelidikan bertujuan supaya menemukan yang kemudian menjadi mengumpulkan di dalam penyidikan, karena sudah ada yang ditemukan, tetapi belum terkumpul. Untuk itu, berarti penyelidik tidak ditugaskan mengumpul, tetapi ia sudah tahu itu ada. Walau mungkin masih tercerai-berai, tentu saja mengumpul itu bisa dan baik dilakukan, walau bukan yang utama. Sasaran temuan penyelidik adalah dugaan delik telah meningkat menjadi terang, ada delik dan ada tersangka di dalam penyidikan. Terang, karena sudah ada terkumpul bukti kualitas hukum, yang sebelumnya dalam penyelidikan masih sedang dicari-cari.
Pasal 1 butir (1) KUHAP, “Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Berdasar pasal tersebut penyidik adalah: (1) Peajabat Polisi Negara Republik Indonesia, (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.”[3]

Berdasar PP Nomor 27 Tahun 1983, maka penyidik terdiri dari: (1) penyidik, (2) jaksa, dan (3) pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Leden Marpaung, SH berpendapat mengenai pengaturan penyidik pada KUHAP dan PP Nomor 27 Tahun 1983:

Dalam hal aparat ‘penyidik’ sebagaimana diatur Pasal 1 butir (1) tercantum dua penyidik, yakni pejabat polisi Negara RI dan atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu, Pasal 1 butir (1) KUHAP jo. Pasal 6 ayat (1) KUHAP. Rumusan tersebut, seyogianya ditambah dengan ‘aparat Negara tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undang’. Dengan demikian, rumusan itu menjadi lengkap dan tepat, sesuai dengan kenyataan sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983.[4]

Dengan adanya PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), akan membantu pelaksanaan Penyidik Polri dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.

Nikolas Simanjuntak, dalam bukunya  “Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum”, menjabarkan PPNS yang bisa menjadi penyidik, antara lain:[5]

No
Nomor UU
Materi Pokok Masalah Pidana
Pejabat Penyidik
1
5 Tahun 1983Zona Ekonomi Eksklusif IndonesiaPerwira TNI AL
2
5 Tahun 1990Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem (SDHE)1. Perwira TNI AL2. PPNS bidang SDHE
3
5 Tahun 1992Benda Cagar BudayaPPNS Diknas
4
14 Tahun 1992Lalu LintasPPNS Dishub
5
21 Tahun 1992Pelayaran1. Perwira TNI AL2. PPNS Dishub
6
9 Tahun 1992ImigrasiPPNS Imigrasi
7
23 Tahun 1997Pengelolaan Lingkungan Hidup1. Perwira TNI AL2. PPNS LH
8
22 Tahun 1997NarkotikaPPNS di beberapa Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya mengurus bahan untuk narkotika
9
41 Tahun 1999KehutananPPNS Kehutanan
10
16 Tahun 2000Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara PerpajakanPPNS Ditjen Pajak
11
18 Tahun 2000Perubahan Kedua atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang MewahPPNS Ditjen Pajak
12
26 Tahun 2000Pengadilan Hak Asasi Manusia1. Penyidik Ad Hoc2. Jaksa Agung RI
13
20 Tahun 2001Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiJaksa Agung RI
14
19 Tahun 2002Hak CiptaPPNS Ditjen HAKI
15
30 Tahun 2002Komisi Pemberantasan KorupsiPenyidik KPK
16
25 Tahun 2003Tindak Pidana Pencucian UangPenyidik Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
17
31 Tahun 2004Perikanan1. Perwira TNI AL2. PPNS Perikanan
18
32 Tahun 2004Pemerintahan Daerah (Pidana Perda)Tamtib/Tibun
19
17 Tahun 2006Kepabeanan (Bea Cukai)PPNS Bea Cukai
20
11 Tahun 2008Informasi dan Transaksi ElektronikPPNS bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
21
18 Tahun 2008Pengelolaan SampahPPNS bidang Persampahan
Namun yang perlu menjadi catatan pada tabel di atas ada beberapa undang-undang yang telah mengalami perubahan, diantaranya sebagai berikut:
–    Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
–    Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang keimigrasian  diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
–    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diubah  menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
–    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Ruang lingkup wewenang, tugas, dan kewajiban penyidik menjadi tampak lebih luas jangkauannya daripada penyelidik. Prosedur tetap bagi penyidik tidak diatur dalam satu bab tersendiri di dalam KUHAP, tetapi aturan itu ada tersebar di berbagai pasal dan ayat yang relevan dengan tindakan yang akan dilakukannya. Namun, dari makna pengertian itu menampakkan adanya penyelidikan menjadi bagian tugas perbantuan dari dan kepada penyidikan.

“Nama resmi untuk penyidik disebut dengan sandi ‘reserse’, tetapi dalam praktiknya, yang diketahui masyarakat umum tentang reserse berarti polisi urusan kriminal atau atau kejahatan berat.”[6]

Dari definisi-definisi yang telah dijabarkan, semua polisi yang orangnya terlembaga di dalam kepolisian RI (Polri) adalah ‘boleh’ dan bisa menjadi penyelidik, bahkan mungkin boleh dikatakan bahwa fungsi utama menjadi seorang polisi adalah untuk menyelidik. Di dalam ketentuan yang berlaku saat ini, Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dinyatakan bahwa tujuan Polri adalah,Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.[7]

Bilamana saja terjadi dugaan tidak tertib dan tegaknya hukum yang dinyatakan dalam undang-undang itu, maka tentulah menjadi pertama-tama tugas dari setiap orang yang menjadi Polisi RI, dan tentu itu bermakna sangat luas, menjangkau tidak hanya untuk pelaksanaan hukum acara pidana. Tetapi, dugaan tidak tertib dan tegaknya hukum itu wajib bagi setiap polisi untuk menyelidikinya dengan tanpa melanggar HAM.

Sadjijono dalam bukunya Memahami Hukum Kepolisian menjabarkan kewajiban dan larangan bagi setiap anggota Polri,
–          Kewajiban anggota POLRI dalam kehidupan bernegara dan bermasyarkat
  1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah;
  2. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan Negara;
  3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  4. Menyimpan rahasia Negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;
  5. Hormat-menghormati antara pemeluk agama;
  6. Menjunjung tinggi hak asasi manusia;
  7. Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum;
  8. Melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan Negara/pemerintah;
  9. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat;
  10. Berpakaian rapi dan pantas.
–          Kewajiban anggota POLRI dalam pelaksanaan tugas
  1. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat;
  2. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat;
  3. Menaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggungjawab;
  5. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  6. Menaati segala peraturan perundan-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku;
  7. Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya;
  8. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas;
  9. Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya;
  10. Mendorong semangat bawahannya untuk meningkatakan prestasi kerja;
  11. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan karier;
  12. Menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang;
  13. Menaati ketentuan jam kerja;
  14. Menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik-baiknya;
  15. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.
–          Larangan anggota POLRI dalam kehidupan bernegara dan bermasyarkat
  1. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat Negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  2. Melakukan kegiatan politik praktis;
  3. Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan;
  4. Bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan Negara;
  5. Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;
  6. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
  7. Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
  8. Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
  9. Menjadi perantara/makelar perkara;
  10. Menelantarkan keluarga.
–          Larangan anggota POLRI dalam pelaksanaan tugas
  1. Membocorkan rahasia kepolisian;
  2. Meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan;
  3. Menghindarkan tanggungjawab dinas;
  4. Menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi;
  5. Menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya;
  6. Mengontrakkan/menyewahkan rumah dinas;
  7. Menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit;
  8. Mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak;
  9. Menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi;
  10. Berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani;
  11. Memanipulasi perkara;
  12. Membuat opini negatif tentang rekan sekerja, pimpinan, dan/atau kesatuan;
  13. Mengurusi, mensponsor, dan/atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  14. Mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materiil perkara;
  15. Melakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya;
  16. Melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayaninya;
  17. Menyalahunakan wewenang;
  18. Menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan;
  19. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
  20. Menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas;
  21. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, meminjamkan, atau menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas secara tidak sah;
  22. Memasuki tempat yang dapat mencemarka kehormatan atau martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali karena tugasnya;
  23. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;
  24. Memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.[8]

[1]   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[3] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP
[4] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 78.
[5] Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Cetakan I, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, h. 56-57.
[6] Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Cetakan I, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, h. 54.
[7] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[8] Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, Cetakan I, Laksbang PresIndo, Yogyakarta, 2010, h. 87-91.

Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum terhadap Tersangka dalam Proses Penyidikan

Berbicara mengenai perlindungan hukum tentu sangat erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalam Kamus Hukum dijelaskan, “Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki dengan kelahiran dan kehadirannya di dalam kehidupan masyarkat.”[1]

Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengartikan, “Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang diakui secara universal dan melekat pada diri manusia sejak kelahirannya. Setiap manusia memiliki hak itu atas kodrat kelahirannya sebagai manusia, bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan. Hak itu tidak boleh sesaat pun dirampas atau dicabut.”[2]

Berlandas pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[3]

Sesuai dengan yang tertera pada pengertian di atas bahwa hak asasi manusia dilindungi oleh hukum, dalam hal ini perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia khususnya hak asasi tersangka.

Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan sejumlah hak asasi yang bersifat mutlak, tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak-hak tersebut antara lain:
  1. Hak untuk hidup
  2. Hak untuk tidak disiksa
  3. Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani
  4. Hak beragama
  5. Hak untuk tidak diperbudak
  6. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum
  7. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
Rumusan Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sama dengan rumusan Pasal 28 I ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yaitu:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.[4]

Kalimat “…tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun…” menunjukkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak yang bersifat mutlak, tidak dapat dibatasi, sekalipun dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 terdapat pengakuan terhadap kewajiban untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain dalam batasan-batasan yang ditetapkan oleh undang-undang.
“Hukum dapat dirasakan dan diwujudkan dalam bentuk yang paling sederhana yaitu, peraturan perundang-undangan. Dalam bentuk yang lebih rumit, wujud hukum tersebut dikendalikan oleh sejumlah asas-asas, doktrin, atau filosofi hukum, yang diakui oleh sistem hukum secara universal.”[5]

Indonesia sebagai Negara hukum sedikitnya harus memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:
  1. Pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;
  2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan lain apapun;
  3. Menjunjung tinggi asas legalitas.[6]
Masyarakat hukum Indonesia telah lama memperjuangkan dan mencita-citakan suatu hukum acara pidana nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka. Penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk penghormatan terhadap hak tersangka, selama ini kurang mendapat perhatian dari sistem hukum pidana Indonesia. Banyaknya insiden perlakuan tidak manusiawi, penyiksaan dan perlakuan merendahkan martabat manusia, terutama orang miskin yang tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang advokat (penasihat hukum) professional. Dalam keadaan seperti inilah bantuan hukum diperlukan untuk membela fakir miskin agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh penegak hukum. Lembaga bantuan hukum sebagai salah satu subsistem dari peradilan pidana (criminal justice system) dapat memegang peranan yang penting dalam membela dan melindungi hak-hak tersangka, untuk itu diperlukan suatu proses hukum yang adil (due process of law) melalui suatu hukum acara pidana nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka.

“Bantuan hukum akan berperan atau dapat memainkan vitalitas dari kelembagaan sebagai fasilitator bagi masyarakat pencari keadilan manakala bantuan hukum tersebut senantiasa responsive terhadap denyut nadi tuntutan keadilan masyarakatnya”.[7]

Bantuan hukum ini sebenarnya merupakan salah satu perwujudan dari jaminan dan perlindungan hukum/perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)  khususnya pencari keadilan untuk mendapatkan perlakuan secara layak dari penegak hukum sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia yaitu dalam pembelaan terhadap perkara tersangka oleh penasehat hukumnya.

Frams Hendra Winarta berpendapat, diundangkannya hukum acara pidana nasional (KUHAP)  pada tahun 1981 ternyata tidak membawa perubahan atas perlakuan tidak manusiawi dan tidak adil terhadap para tersangka dan terdakwa. Ternyata KUHAP yang dinyatakan sebagai karya besar bangsa Indonesia dalam bidang hukum, memiliki beberapa kelemahan fundamental, seperti tidak adanya sanksi terhadap penyidik yang memeriksa tersangka dengan mengabaikan haknya untuk didampingi advokat (penasehat hukum) dan tidak adanya kekuasaan pengadilan untuk menolak berita acara pemeriksaan tersangka yang tidak sesuai dengan prosedur due process of law.[8]

Dalam melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan “penyidikan”, konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak privilese” kepada Polri untuk “memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita” terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana.

“Dalam melaksanakan hak dan kewenangan istimewa tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip the right of due process. Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan sesuai dengan hukum acara”.[9]

Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan proses peradilan yang adil dan tidak memihak. Oleh karena kekuasaan ini perlu dibatasi agar tidak terjadi  penyalahgunaan wewenang. Permasalahan ini perlu disinggung, karena masih banyak keluhan yang disuarakan anggota masyarkat tentang adanya berbagai tata cara penyelidikan dan penyidikan yang menyimpang dari ketentuan hukum acara.
Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supremasi hukum dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum (no one is above law), dan hukum harus ditetapkan kepada siapa pun berdasar prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fair manner).

Esensi due process: setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum. Oleh karena itu, due process tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain.

Agar konsep dan esensi due process dapat terjamin penegakan dan pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, harus memedomani dan mengakui (recognized), menghormati (to respect for), dan melindungi (to protect) serta menjamin dengan baik doktrin inkorporasi (incorporation doctrine), yang memuat berbagai hak seperti dirumuskan dalam Bab VI KUHAP.[10]

Mengenai bantuan hukum yang ada di dalam KUHAP (Pasal 69-74), harus dilengkapi dengan tali-temali aturan yang berkaitan secara khusus dengan ketentuan HAM dalam konstitusi RI dan UU di atas itu, salah satunya di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menentukan bahwa, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang  sama di hadapan hukum.”[11]

Oleh sebab itu, bantuan hukum sebagai hak bagi setiap orang yang menjadi tersangka/terdakwa ataupun saksi adalah menjadi bagian dari segala pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil itu. Demikian pun juga di dalam Pasal 28I ayat (1) ditentukan mengenai …hak untuk tidak disiksa dan hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum serta bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun….[12]

Semua hak-hak asasi itu pada intinya menjadi tanggung jawab Negara, terutama pemerintah, untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhinya. Di dalam Pasal 28J ayat (1) dinyatakan lagi bahwa, “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”[13]

Dengan itu, berarti HAM bukan hanya dibebankan kepada Negara dan pemerintah serta setiap pejabatnya, tetapi juga menjadi kewajiban dari setiap orang.

Ketentuan normative UUD RI di atas itu menjadi satu landasan untuk menerapkan aturan di dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang di dalam Pasal 37 dinyatakan bahwa, “setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”[14]

Frase mengenai “tersangkut perkara” yang dimaksudkan itu berarti bantuan hukum dalam arti segala kasus yang wewenangnya berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyebutkanyang menjadi pemberi bantuan hukum yaitu: (1) Advokat, (2) Pembela Publik, dan (3) Paralegal.[15]

Pada tingkat penyelidikan dan penyidikan terkadang terjadi pelanggaran yang sifatnya administrative dan prosedural. Pelanggaran tersebut antara lain:
  1. Tersangka tidak diberitahukan haknya oleh penyidik untuk didampingi penasihat hukum.
  2. Tersangka dipanggil oleh penyidik tanpa memperhatikan tenggang waktu
  3. Jangka waktu penahanan tidak sesuai dengan BAP
  4. Menolak saksi a-de charge
  5. Pemeriksaan saksi dilarang didampingi oleh penasihat hukum
  6. Pemaksaan penarikan kuasa penasihat hukum
  7. Penyidik memberi keterangan pers dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah
  8. Penyidik tidak memberitahukan nama pelapor
  9. Berkas perkara tidak diberikan kepada tersangka maupun penasihat hukumnya
  10. Tidak berfungsinya lembaga penjaminan penahanan.[16]


[1] Kamus Hukum, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2008, h 125.
[2] Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Cetakan I, YLBHI dan PSHK, Jakarta, 2009, h. 33
[3] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
[4] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
[5] O. C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Cetakan I, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2006, h. 104-105.
[6] Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Cetakan III, PT Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 121.
[7] Artidjo Alkostar, Peran dan Tantangan Advokat dalam Era Globalisasi, Cetakan I, FH UII Press, Yogyakarta, 2010, h. 144.
[8] Frans Hendra Winarta, Bantaun Hukum di Indonesia Hak untuk Didampingi Penasihat Hukum bagi Semua Warga Negara, Cetakan I, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2011, h. 75.
[9] M. Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 95.
[10] M. Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 95.
[11] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
[12] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
[13] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
[14] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
[15] Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Cetakan I, YLBHI dan PSHK, Jakarta, 2009, h. 37-39.
[16] L & J Law Firm, Hak Anda Bila Menghadapi Masalah Hukum, Cetakan I, PT Penebar Swadaya, Jakarta,  2009, h. 92-96.

Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum terhadap Tersangka dalam Proses Penyidikan

Berbicara mengenai perlindungan hukum tentu sangat erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalam Kamus Hukum dijelaskan, “Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki dengan kelahiran dan kehadirannya di dalam kehidupan masyarkat.”[1]

Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengartikan, “Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang diakui secara universal dan melekat pada diri manusia sejak kelahirannya. Setiap manusia memiliki hak itu atas kodrat kelahirannya sebagai manusia, bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan. Hak itu tidak boleh sesaat pun dirampas atau dicabut.”[2]

Berlandas pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[3]

Sesuai dengan yang tertera pada pengertian di atas bahwa hak asasi manusia dilindungi oleh hukum, dalam hal ini perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia khususnya hak asasi tersangka.
Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan sejumlah hak asasi yang bersifat mutlak, tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak-hak tersebut antara lain:
  1. Hak untuk hidup
  2. Hak untuk tidak disiksa
  3. Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani
  4. Hak beragama
  5. Hak untuk tidak diperbudak
  6. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum
  7. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
Rumusan Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sama dengan rumusan Pasal 28 I ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yaitu:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.[4]

Kalimat “…tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun…” menunjukkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak yang bersifat mutlak, tidak dapat dibatasi, sekalipun dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 terdapat pengakuan terhadap kewajiban untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain dalam batasan-batasan yang ditetapkan oleh undang-undang.
“Hukum dapat dirasakan dan diwujudkan dalam bentuk yang paling sederhana yaitu, peraturan perundang-undangan. Dalam bentuk yang lebih rumit, wujud hukum tersebut dikendalikan oleh sejumlah asas-asas, doktrin, atau filosofi hukum, yang diakui oleh sistem hukum secara universal.”[5]

Indonesia sebagai Negara hukum sedikitnya harus memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:
  1. Pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;
  2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan lain apapun;
  3. Menjunjung tinggi asas legalitas.[6]
Masyarakat hukum Indonesia telah lama memperjuangkan dan mencita-citakan suatu hukum acara pidana nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka. Penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk penghormatan terhadap hak tersangka, selama ini kurang mendapat perhatian dari sistem hukum pidana Indonesia. Banyaknya insiden perlakuan tidak manusiawi, penyiksaan dan perlakuan merendahkan martabat manusia, terutama orang miskin yang tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang advokat (penasihat hukum) professional. Dalam keadaan seperti inilah bantuan hukum diperlukan untuk membela fakir miskin agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh penegak hukum. Lembaga bantuan hukum sebagai salah satu subsistem dari peradilan pidana (criminal justice system) dapat memegang peranan yang penting dalam membela dan melindungi hak-hak tersangka, untuk itu diperlukan suatu proses hukum yang adil (due process of law) melalui suatu hukum acara pidana nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka.

“Bantuan hukum akan berperan atau dapat memainkan vitalitas dari kelembagaan sebagai fasilitator bagi masyarakat pencari keadilan manakala bantuan hukum tersebut senantiasa responsive terhadap denyut nadi tuntutan keadilan masyarakatnya”.[7]

Bantuan hukum ini sebenarnya merupakan salah satu perwujudan dari jaminan dan perlindungan hukum/perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)  khususnya pencari keadilan untuk mendapatkan perlakuan secara layak dari penegak hukum sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia yaitu dalam pembelaan terhadap perkara tersangka oleh penasehat hukumnya.

Frams Hendra Winarta berpendapat, diundangkannya hukum acara pidana nasional (KUHAP)  pada tahun 1981 ternyata tidak membawa perubahan atas perlakuan tidak manusiawi dan tidak adil terhadap para tersangka dan terdakwa. Ternyata KUHAP yang dinyatakan sebagai karya besar bangsa Indonesia dalam bidang hukum, memiliki beberapa kelemahan fundamental, seperti tidak adanya sanksi terhadap penyidik yang memeriksa tersangka dengan mengabaikan haknya untuk didampingi advokat (penasehat hukum) dan tidak adanya kekuasaan pengadilan untuk menolak berita acara pemeriksaan tersangka yang tidak sesuai dengan prosedur due process of law.[8]

Dalam melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan “penyidikan”, konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak privilese” kepada Polri untuk “memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita” terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana.

“Dalam melaksanakan hak dan kewenangan istimewa tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip the right of due process. Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan sesuai dengan hukum acara”.[9]

Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan proses peradilan yang adil dan tidak memihak. Oleh karena kekuasaan ini perlu dibatasi agar tidak terjadi  penyalahgunaan wewenang. Permasalahan ini perlu disinggung, karena masih banyak keluhan yang disuarakan anggota masyarkat tentang adanya berbagai tata cara penyelidikan dan penyidikan yang menyimpang dari ketentuan hukum acara.
Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supremasi hukum dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum (no one is above law), dan hukum harus ditetapkan kepada siapa pun berdasar prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fair manner).

Esensi due process: setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum. Oleh karena itu, due process tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain.

Agar konsep dan esensi due process dapat terjamin penegakan dan pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, harus memedomani dan mengakui (recognized), menghormati (to respect for), dan melindungi (to protect) serta menjamin dengan baik doktrin inkorporasi (incorporation doctrine), yang memuat berbagai hak seperti dirumuskan dalam Bab VI KUHAP.[10]

Mengenai bantuan hukum yang ada di dalam KUHAP (Pasal 69-74), harus dilengkapi dengan tali-temali aturan yang berkaitan secara khusus dengan ketentuan HAM dalam konstitusi RI dan UU di atas itu, salah satunya di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menentukan bahwa, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang  sama di hadapan hukum.”[11]

Oleh sebab itu, bantuan hukum sebagai hak bagi setiap orang yang menjadi tersangka/terdakwa ataupun saksi adalah menjadi bagian dari segala pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil itu. Demikian pun juga di dalam Pasal 28I ayat (1) ditentukan mengenai …hak untuk tidak disiksa dan hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum serta bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun….[12]

Semua hak-hak asasi itu pada intinya menjadi tanggung jawab Negara, terutama pemerintah, untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhinya. Di dalam Pasal 28J ayat (1) dinyatakan lagi bahwa, “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”[13]

Dengan itu, berarti HAM bukan hanya dibebankan kepada Negara dan pemerintah serta setiap pejabatnya, tetapi juga menjadi kewajiban dari setiap orang.

Ketentuan normative UUD RI di atas itu menjadi satu landasan untuk menerapkan aturan di dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang di dalam Pasal 37 dinyatakan bahwa, “setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”[14]

Frase mengenai “tersangkut perkara” yang dimaksudkan itu berarti bantuan hukum dalam arti segala kasus yang wewenangnya berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyebutkanyang menjadi pemberi bantuan hukum yaitu: (1) Advokat, (2) Pembela Publik, dan (3) Paralegal.[15]

Pada tingkat penyelidikan dan penyidikan terkadang terjadi pelanggaran yang sifatnya administrative dan prosedural. Pelanggaran tersebut antara lain:
  1. Tersangka tidak diberitahukan haknya oleh penyidik untuk didampingi penasihat hukum.
  2. Tersangka dipanggil oleh penyidik tanpa memperhatikan tenggang waktu
  3. Jangka waktu penahanan tidak sesuai dengan BAP
  4. Menolak saksi a-de charge
  5. Pemeriksaan saksi dilarang didampingi oleh penasihat hukum
  6. Pemaksaan penarikan kuasa penasihat hukum
  7. Penyidik memberi keterangan pers dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah
  8. Penyidik tidak memberitahukan nama pelapor
  9. Berkas perkara tidak diberikan kepada tersangka maupun penasihat hukumnya
  10. Tidak berfungsinya lembaga penjaminan penahanan.[16]


[1] Kamus Hukum, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2008, h 125.
[2] Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Cetakan I, YLBHI dan PSHK, Jakarta, 2009, h. 33
[3] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
[4] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
[5] O. C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Cetakan I, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2006, h. 104-105.
[6] Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Cetakan III, PT Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 121.
[7] Artidjo Alkostar, Peran dan Tantangan Advokat dalam Era Globalisasi, Cetakan I, FH UII Press, Yogyakarta, 2010, h. 144.
[8] Frans Hendra Winarta, Bantaun Hukum di Indonesia Hak untuk Didampingi Penasihat Hukum bagi Semua Warga Negara, Cetakan I, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2011, h. 75.
[9] M. Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 95.
[10] M. Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 95.
[11] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
[12] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
[13] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
[14] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
[15] Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Cetakan I, YLBHI dan PSHK, Jakarta, 2009, h. 37-39.
[16] L & J Law Firm, Hak Anda Bila Menghadapi Masalah Hukum, Cetakan I, PT Penebar Swadaya, Jakarta,  2009, h. 92-96.

Ketentuan Pesangon

  Ketentuan pemberian pesangon jika terjadi PHK Dalam Pasal 154A Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan alasan-alasan terjadinya Pemutusan Hub...