Berbicara mengenai perlindungan hukum tentu sangat erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalam Kamus Hukum dijelaskan, “Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki dengan kelahiran dan kehadirannya di dalam kehidupan masyarkat.”[1]
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengartikan, “Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang diakui secara universal dan melekat pada diri manusia sejak kelahirannya. Setiap manusia memiliki hak itu atas kodrat kelahirannya sebagai manusia, bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan. Hak itu tidak boleh sesaat pun dirampas atau dicabut.”[2]
Berlandas pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[3]
Sesuai dengan yang tertera pada pengertian di atas bahwa hak asasi manusia dilindungi oleh hukum, dalam hal ini perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia khususnya hak asasi tersangka.
Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan sejumlah hak asasi yang bersifat mutlak, tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak-hak tersebut antara lain:
- Hak untuk hidup
- Hak untuk tidak disiksa
- Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani
- Hak beragama
- Hak untuk tidak diperbudak
- Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum
- Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
Rumusan Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sama dengan rumusan Pasal 28 I ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yaitu:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.[4]
Kalimat “…tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun…” menunjukkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak yang bersifat mutlak, tidak dapat dibatasi, sekalipun dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 terdapat pengakuan terhadap kewajiban untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain dalam batasan-batasan yang ditetapkan oleh undang-undang.
“Hukum dapat dirasakan dan diwujudkan dalam bentuk yang paling sederhana yaitu, peraturan perundang-undangan. Dalam bentuk yang lebih rumit, wujud hukum tersebut dikendalikan oleh sejumlah asas-asas, doktrin, atau filosofi hukum, yang diakui oleh sistem hukum secara universal.”[5]
Indonesia sebagai Negara hukum sedikitnya harus memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:
- Pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;
- Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan lain apapun;
- Menjunjung tinggi asas legalitas.[6]
Masyarakat hukum Indonesia telah lama memperjuangkan dan mencita-citakan suatu hukum acara pidana nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka. Penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk penghormatan terhadap hak tersangka, selama ini kurang mendapat perhatian dari sistem hukum pidana Indonesia. Banyaknya insiden perlakuan tidak manusiawi, penyiksaan dan perlakuan merendahkan martabat manusia, terutama orang miskin yang tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang advokat (penasihat hukum) professional. Dalam keadaan seperti inilah bantuan hukum diperlukan untuk membela fakir miskin agar tidak menjadi korban penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh penegak hukum. Lembaga bantuan hukum sebagai salah satu subsistem dari peradilan pidana (criminal justice system) dapat memegang peranan yang penting dalam membela dan melindungi hak-hak tersangka, untuk itu diperlukan suatu proses hukum yang adil (due process of law) melalui suatu hukum acara pidana nasional yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka.
“Bantuan hukum akan berperan atau dapat memainkan vitalitas dari kelembagaan sebagai fasilitator bagi masyarakat pencari keadilan manakala bantuan hukum tersebut senantiasa responsive terhadap denyut nadi tuntutan keadilan masyarakatnya”.[7]
Bantuan hukum ini sebenarnya merupakan salah satu perwujudan dari jaminan dan perlindungan hukum/perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya pencari keadilan untuk mendapatkan perlakuan secara layak dari penegak hukum sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia yaitu dalam pembelaan terhadap perkara tersangka oleh penasehat hukumnya.
Frams Hendra Winarta berpendapat, diundangkannya hukum acara pidana nasional (KUHAP) pada tahun 1981 ternyata tidak membawa perubahan atas perlakuan tidak manusiawi dan tidak adil terhadap para tersangka dan terdakwa. Ternyata KUHAP yang dinyatakan sebagai karya besar bangsa Indonesia dalam bidang hukum, memiliki beberapa kelemahan fundamental, seperti tidak adanya sanksi terhadap penyidik yang memeriksa tersangka dengan mengabaikan haknya untuk didampingi advokat (penasehat hukum) dan tidak adanya kekuasaan pengadilan untuk menolak berita acara pemeriksaan tersangka yang tidak sesuai dengan prosedur due process of law.[8]
Dalam melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan “penyidikan”, konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak privilese” kepada Polri untuk “memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita” terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana.
“Dalam melaksanakan hak dan kewenangan istimewa tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip the right of due process. Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan sesuai dengan hukum acara”.[9]
Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan proses peradilan yang adil dan tidak memihak. Oleh karena kekuasaan ini perlu dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Permasalahan ini perlu disinggung, karena masih banyak keluhan yang disuarakan anggota masyarkat tentang adanya berbagai tata cara penyelidikan dan penyidikan yang menyimpang dari ketentuan hukum acara.
Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supremasi hukum dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum (no one is above law), dan hukum harus ditetapkan kepada siapa pun berdasar prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fair manner).
Esensi due process: setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum. Oleh karena itu, due process tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain.
Agar konsep dan esensi due process dapat terjamin penegakan dan pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, harus memedomani dan mengakui (recognized), menghormati (to respect for), dan melindungi (to protect) serta menjamin dengan baik doktrin inkorporasi (incorporation doctrine), yang memuat berbagai hak seperti dirumuskan dalam Bab VI KUHAP.[10]
Mengenai bantuan hukum yang ada di dalam KUHAP (Pasal 69-74), harus dilengkapi dengan tali-temali aturan yang berkaitan secara khusus dengan ketentuan HAM dalam konstitusi RI dan UU di atas itu, salah satunya di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menentukan bahwa, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”[11]
Oleh sebab itu, bantuan hukum sebagai hak bagi setiap orang yang menjadi tersangka/terdakwa ataupun saksi adalah menjadi bagian dari segala pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil itu. Demikian pun juga di dalam Pasal 28I ayat (1) ditentukan mengenai …hak untuk tidak disiksa dan hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum serta bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun….[12]
Semua hak-hak asasi itu pada intinya menjadi tanggung jawab Negara, terutama pemerintah, untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhinya. Di dalam Pasal 28J ayat (1) dinyatakan lagi bahwa, “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”[13]
Dengan itu, berarti HAM bukan hanya dibebankan kepada Negara dan pemerintah serta setiap pejabatnya, tetapi juga menjadi kewajiban dari setiap orang.
Ketentuan normative UUD RI di atas itu menjadi satu landasan untuk menerapkan aturan di dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang di dalam Pasal 37 dinyatakan bahwa, “setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.”[14]
Frase mengenai “tersangkut perkara” yang dimaksudkan itu berarti bantuan hukum dalam arti segala kasus yang wewenangnya berada dalam lingkup kekuasaan kehakiman. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyebutkanyang menjadi pemberi bantuan hukum yaitu: (1) Advokat, (2) Pembela Publik, dan (3) Paralegal.[15]
Pada tingkat penyelidikan dan penyidikan terkadang terjadi pelanggaran yang sifatnya administrative dan prosedural. Pelanggaran tersebut antara lain:
- Tersangka tidak diberitahukan haknya oleh penyidik untuk didampingi penasihat hukum.
- Tersangka dipanggil oleh penyidik tanpa memperhatikan tenggang waktu
- Jangka waktu penahanan tidak sesuai dengan BAP
- Menolak saksi a-de charge
- Pemeriksaan saksi dilarang didampingi oleh penasihat hukum
- Pemaksaan penarikan kuasa penasihat hukum
- Penyidik memberi keterangan pers dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah
- Penyidik tidak memberitahukan nama pelapor
- Berkas perkara tidak diberikan kepada tersangka maupun penasihat hukumnya
- Tidak berfungsinya lembaga penjaminan penahanan.[16]
[1] Kamus Hukum, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2008, h 125.
[2] Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Cetakan I, YLBHI dan PSHK, Jakarta, 2009, h. 33
[3] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
[4] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
[5] O. C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Cetakan I, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2006, h. 104-105.
[6] Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Cetakan III, PT Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 121.
[7] Artidjo Alkostar, Peran dan Tantangan Advokat dalam Era Globalisasi, Cetakan I, FH UII Press, Yogyakarta, 2010, h. 144.
[8] Frans Hendra Winarta, Bantaun Hukum di Indonesia Hak untuk Didampingi Penasihat Hukum bagi Semua Warga Negara, Cetakan I, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2011, h. 75.
[9] M. Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 95.
[10] M. Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 95.
[11] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
[12] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
[13] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
[14] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
[15] Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Cetakan I, YLBHI dan PSHK, Jakarta, 2009, h. 37-39.
[16] L & J Law Firm, Hak Anda Bila Menghadapi Masalah Hukum, Cetakan I, PT Penebar Swadaya, Jakarta, 2009, h. 92-96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar