Jumat, 24 Juli 2015

Perlindungan Hukum terhadap Tersangka pada saat Proses Penyidikan

A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan menjamin segala hak warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Memang KUHAP telah mengangkat dan menempatkan tersangka atau terdakwa dalam kedudukan yang “bersederajat”, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka atau terdakwa telah ditempatkan KUHAP dalam posisi his entity and dignity as a human being, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Hukum mesti ditegakkan! Namun dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa. “tidak boleh ditelanjangi” hak asasi utama yang melekat pada dirinya. Hak-hak asasi utama yang dilarang KUHAP ditanggali dari diri pribadi tersangka atau terdakwa.

Ketegasan KUHAP dalam mengangkat harkat dan martabat mannusia terlihat dari garis-garis tujuan yang hendak dicapai KUHAP, yang dasar-dasarnya terdapat pada huruf “C” konsideransnya yang menyatakan:

Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut O. C. Kaligis, “Perlindungan hukum mencerminkan kewajiban dan tanggung jawab yang diberikan dan dijamin oleh negara untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia berdasarkan undang-undang dan peraturan hukum”.
Perananan aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum sangat menentukan arah dan tujuan serta hasil yang akan dicapai dalam penegakan hukum itu sendiri. Selain itu, hal lain yang menjadi faktor penting dalam menentukan efektifitas penegakan hukum adalah masalah kesadaran hukum oleh subjek hukumnya. Dalam sistem peradilan pidana kita mengenal Kepolisian (dalam hal ini penyidik Kepolisian), Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai penegak hukum negara yang masing-masing ditentukan batas-batas wewenangnya.

Polisi Republik Indonesia (POLRI) merupakan salah satu alat penegak hukum, pelindung dan pengayom masyarakat berkewajiban untuk memelihara tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, serta ketertiban dan kepastian hukum.

Dalam rangka p
enegakan hukum sesuai Sistem Peradilan Pidana, Polri bertugas melakukan penyidikan tindak pidana yang dilaksanakan oleh penyidik/penyidik pembantu pada Fungsi Reserse Kriminal Polri maupun fungsi operasional Polri lainnya yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan serta mengkoordinasikan dan melakukan pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Peranan penyidik Polri dalam sistem Peradilan Pidana berada pada bagian terdepan dan merupakan tahap awal mekanisme proses peradilan pidana yaitu pemeriksaan pendahuluan.

Menurut Achmad Ali, Hukum Acara Pidana mengenal adanya dua tahap pemeriksaan yaitu:
a. Pemeriksaan Pendahuluan sebelum perkara pidana diajukan ke pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan ini dibedakan atas:
(i) Pemeriksaan di kepolisian,
(ii) Pemeriksaan di kejaksaan.
b. Pemeriksaan di persidangan pengadilan

Dalam hal ini terkait dengan penyidikan merupakan pemeriksaan pendahuluan di Kepolisian. Salah satu tugas dari penyidik Kepolisian adalah melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tindak pidana. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik dalam rangka penyidikan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Sudah menjadi penilaian umum bahwa pelayanan Kepolisian pada masyarakat begitu rendah, profesionalisme kalangan aparat Kepolisian tidak menunjukkan bukti yang jelas. Penyidik sering kali menganggap bahwa penyiksaan adalah jalan terbaik dan termudah untuk bisa mengorek keterangan dari seorang tersangka. Tidak jarang dijumpai kekerasan oleh penyidik Polri terhadap tersangka di dalam pemeriksaan untuk mendapatkan suatu pengakuan atas kejahatan tertentu. Hal ini terlihat dengan banyaknya pemberitaan di media massa tentang tersangka yang mengalami penyiksaan saat di tahan.
Penggunaan kekerasan oleh penyidik dalam pemeriksaan tersangka tidak dibenarkan terlebih yang dapat menyebabkan kematian, sebab bertentangan dengan tugas dan wewenang penyidik. Selain itu juga bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Kekerasan dalam pemeriksaan secara tegas dilarang sebagaimana di atur dalam Pasal 117 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa: “Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun”.

Polri sebagai instrument Negara untuk menegakkan hukum serta memelihara keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat tidak luput dari perhatian publik, kewenangan Polri yang sangat luas dan kadang terasa tanpa batas menjadi sorotan masyarakat. Hal ini disebabkan peluang terjadinya pelanggaran HAM yang begitu besar oleh pejabat Polri ketika sedang menjalankan tugas. Tugas penegakan hukum merupakan tugas yang sangat berat yang harus diemban oleh seorang polisi. Dalam interaksinya dengan masyarakat, seorang anggota polisi harus berhadapan dengan beragam perilaku individual. Permasalahan timbul ketika masyarakat menganggap kekerasan yang digunakan polisi telah melampaui batas.
Salah satu contoh pelanggaran fenomenal yang terjadi beberapa waktu lalu, misalnya pada kasus David Eko Prianto dan Imam Hambali alias Kemat. Vonis hakim, menyatakan mereka terbukti membunuh Asrori yang mayatnya ditemukan di kebun tebu, Jombang. Ternyata, mayat yang tercampak di kebun tebu itu bukan Asrori. Mayat Asrori sendiri belakangan diketehui terkubur di luar rumah orang tua Very Idam Heniansyah alias Riyan Si Jagal dari Jombang. Riyan mengakui bahwa dialah yang membunuh Asrori. Polisi, yang mengawali penyidikan pembunuhan ini dengan uji DNA, telah pula memastikan bahwa mayat yang berhasil diangkat dari belakang rumah orang tua Riyan itu memang benar Asrori. Setelah itu, polisi juga akhirnya dapat mengidentifikasi mayat di kebun tebu yang awalnya diduga sebagai mayat Asrori. Mayat itu ternyata mayat Ahmad Fazin Suyanto alias Antonius. Polisi pun telah dapat mengidentifikasi dan menangkap tersangka pembunuhnya yaitu Rudi Hartono alias Rangga.

JOMBANG – Saksi mahkota yang juga terpidana Devid Eko Prianto, Kamis (30/10) dihadirkan dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan Asrori dengan terdakwa Maman Sugianto alias Sugik. Dalam keterangannya, Devid tetap ngotot tidak melakukan pembunuhan. Ia mengakui perbuatan tersebut akibat siksaan dan paksaan yang dilakukan oleh polisi.

Devid mengungkapkan, sangkaan yang selama ini dijatuhkan padanya, hanya sebuah rekayasa dan paksaan. Ia mengaku, beberapa oknum polisi yang memriksa telah mengancam dan menganiaya dirinya dalam proses pemberkasan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Akibatnya, dengan s
angat terpaksa dan dalam tekanan, BAP kepolisian tersebut ia tandatangani. Diakui pemuda warga Dusun Ngemplak, Desa Pagerwojo, Kecamatan Perak ini, bahwa yang terjadi dalam pemberkasan hanya sebuah akal-akalan.
“Pada saat penyidikan itu, saya banyak mendapat tekanan dari polisi. Karena tidak kuat, akhirnya saya mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak pernah saya lakukan,” aku Devid. “Benar Pak, saya ditekan,” lanjutnya didepan persidangan.

Dengan leluasa, Devid mengatakan, bahwa pada saat penyidikan, BAP yang dibawa penyidik sudah di skenario dan tersusun rapi. “Saya cuma jawab ya. Kemudian saya dipaksa untuk menandatangani BAP itu,” tutur anak pertama dari 3 bersaudara ini polos.
Disamping itu, lulusan SMK PGRI Kertosono ini juga menjelaskan, pada tanggal 21 September 2007 atau saat hilangnya Asrori dari rumah, ia bersama Imam Chambali alias Kemat berada di Salon Ayu. Kebersamaan itu karena Devid sebagai pekerja di salon di Desa Kalangsemanding milik Kemat itu.

“Waktu itu saya sama Kemat sedang ada di salon Ayu,” sambung Devid. Sebelumnya, terkait penemuan sepeda motor yang dititipkan, saksi Kasiono, seorang juru parkir di Rumah Sakit Islam (RSI) Jombang membenarkan, dirinya mendapat titipan sepeda motor warna merah merk Jupiter Z dengan nopol, S 4088 WJ. Meski tidak mengingat, namun Kasiono mengatakan, kendaraan atas nama Agung Wibowo tersebut dititipkan oleh seorang lelaki tak dikenal.

Uniknya, ciri-ciri yang disebutkan oleh Kasiono dihadapan hakim sangat mengejutkan. Kata Kasiono, ciri-ciri lelaki misterius tersebut identitasnya berbeda dengan yang dimiliki Imam Chambali alias Kemat, Devid Eko Prianto, dan Maman Sugianto alias Sugik.
Padahal, keyakinan polisi, bahwa salah satu dari tiga orang tersebut sebagai orang yang menitipkan sepeda motor tersebut. Polisi mengatakan, upaya itu dilakukan untuk menghilangkan barang bukti.

“Ciri-cirinya itu, tubuhnya agak tinggi, berkulit kuning langsat, memakai baju lengan pendek motif kotak-kotak serta berambut hitam. Tapi saya nggak ingat secara pasti karena saya hanya melihat sekilas dari belakang,” ujar Kasiono enteng.

Selain itu, Kasiono juga menyangkal, jika orang tersebut misterius itu adalah Maman Suginato alias Sugik. Pria berbadan subur ini dengan tegas menjawab, bahwa yang menitipkan sepeda motor bukan lelaki yang kini tengah duduk sebagai terdakwa.
“Sepeda itu STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan)-nya atas nama Agung Wibowo dan sudah hampir dua minggu ada di tempat parkir RSI,” jelasnya. Proses sidang yang berlangsung hampir dua jam itu, tim pengacara terdakwa, HM. Dhofir, Slamet Yuwono dan Athoillah, kembali mengajukan pengalihan penahanan terhadap kliennya. Sayang, upaya yang yang dilakukan itu kandas. Pasalnya, Majelis Hakim tetap bersikeras menunggu selesainya pemeriksaan.

Terkait dengan kasus di atas, fakta yang mengejutkan adalah bahwa para tersangka (David Eko Prianto dan Imam Hambali alias Kemat) tersebut ternyata dipaksa untuk menandatangani BAP hasil rekayasa penyidik pada saat penyidikan. Mereka dipaksa untuk mengakui mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan. Terungkapnya kasus salah salah mengadili (wrongful convictin) ini merupakan kegagalan dalam menegakkan keadilan (miscarriage of justice) yang disebabkan proses penyidikan yang tidak sesuai dengan fungsi sebagaimana diatur KUHAP. Kegagalan ini menjadi kegagalan sistemik pada peradilan pidana Indonesia yang pada akhirnya menghasilkan vonis hakim (sebagai produk peradilan) yang salah.

Berikut ini merupakan juga merupakan pemberitaan dari media massa sebagai bukti tidak adanya perlindungan hukum terhadap tersangka pada saat penyidikan.

Liputan6.com, Denpasar: Terdakwa Kasus Bom Bali Ali Gufron alias Muklas menyatakan, keterangannya dalam berita acara pemeriksaan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Alasannya, ia mengalami tekanan dan siksaan fisik sejak ditangkap dan dibawa ke Kepolisian Resor Klaten. Karena itu, ia mencabut BAP tersebut. Demikian eksepsi atau keberatan terdakwa Ali Gufron atas dakwaan jaksa yang dibacakan sendiri dalam sidang lanjutan Kasus Bom Bali di Gedung Wanita Narigraha, Renon, Denpasar, Bali, Senin (23/6). Di hadapan majelis hakim yang diketuai Tjokorda Rai Suamba, Ali Gufron membeberkan beragam siksaan yang dialaminya selama pemeriksaan. Dalam bagian akhir eksepsi yang ditulisnya sendiri, Ali Gufron dengan tegas mencabut BAP-nya .

Denpasar (Bali Post) – Saksi Dewa Gede Mulya Antara alias Dewa Sumbawa yang dihadirkan pada persidangan dengan terdakwa Daryatno alias Jampes, menyatakan semua keterangan yang pernah diberikan di depan penyidik semuanya semata-mata karangan polisi. Pihaknya terpaksa mengakui sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukannya, karena mendapat tekanan dari penyidik. ‘’Saya tidak kuat menahan siksaan dari penyidik. Semua keterangan saya tersebut berdasarkan karangan penyidik,’’ ujar Dewa Sumbawa, pada sidang yang dipimpin Hakim Emmy Herawati, di PN Denpasar, Senin (19/10). Mantan sopir Nyoman Susrama ini kemudian menyatakan tidak pernah tahu kejadian yang pernah ada di rumah Susrama di Br. Petak, Bangli. Begitu pula ketika dihubungkan dengan fakta lain sebagaimana yang termuat dalam BAP, lagi-lagi pria bertubuh gempal ini menyatakan tidak tahu. Termasuk ketika ditanya apakah saksi pernah melihat ada orang dipukul pada rumah yang belum selesai itu, saksi menyatakan tidak tahu sambil menggelengkan kepalanya.
Tulungagung (ANTARA News) – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tulungagung, Jawa Timur, membebaskan Jasmani, seorang terdakwa pencurian pompa air yang telah menjalani hukuman penjara selama 4,5 bulan karena dianggap sebagai korban salah tangkap, Rabu. Pembebasan Jasmani itu berdasarkan putusan sela yang dibacakan majelis hakim dalam sidang di PN Tulungagung, Selasa (22/3), namun eksekusi pembebasan baru dilakukan Rabu sekitar pukul 12.30 WIB dengan disaksikan pihak jaksa penuntut umum (JPU) dan penasihat hukum terdakwa. Upaya pembebasan pemuda asal Desa Bangoan, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, itu berawal dari pengakuan terdakwa lain dalam sidang perkara pencurian pompa air tersebut bahwa polisi telah salah menangkap pelaku. Fakta di persidangan itu baru terungkap setelah Jasmani menjalani tahanan selama 4,5 bulan. Hal itulah yang kemudian menjadi dasar majelis hakim untuk membuat putusan sela pembebasan atas diri Jasmani. Kasus yang menimpa Jasmani bermula ketika Roni, tetangga Jasmani, kehilangan pompa air dan melaporkannya kepada polisi. Petugas lalu melakukan investigasi dan menangkao Winardi, tetangga korban. Dari tersangka pertama itu terlontar nama Jasmani yang kemudian disebut-sebut sebagai otak pelaku pencurian. Polisi pun lalu menangkap Jasmani. Meski bersikeras menyanggah segala tuduhan penyidik, Jasmani yang tidak bisa membaca dan menulis itu ditetapkan sebagai tersangka setelah dipaksa mengakui pencurian dengan membubuhkan cap jempol di atas berita acara pemeriksaan (BAP).

Dengan munculnya kasus tersebut di atas, maka semakin memperkuat stigma masyarakat terhadap kinerja Kepolisian yang dianggap belum mampu menciptakan kondisi aman dan tertib dalam rangka penegakan hukum, telah terlihat bahwa terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka tindak pidana, padahal di Indonesia menganut asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Berdasarkan Kamus Hukum asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) “bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan hakim yang menyatakan bahwa ia bersalah dan keputusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.

Menurut Andi Hamzah, asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) yaitu “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka persidangan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Berdasarkan uraian di atas, penulis memandang sangat penting untuk melakukan penelitian mengenai perlindungan hukum terhadap tersangka dalam peyidikan. Penelitian ini penulis tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum terhadap Tersangka Pada Saat Proses Penyidikan” dengan memilih lokasi penelitian di Kepolisian Resort Malang Kota.

B. Perumusan Masalah
Berangkat dari deskripsi yang dipaparkan dalam latar belakang penelitian ini, maka ada 3 (tiga) rumusan masalah yang diangkat, yaitu:
(1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap tersangka pada saat penyidikan?
(2) Bagaimana hak tersangka pada saat penyidikan?
(3) Bagaimana tindakan penyidik pada saat pemeriksaan tersangka?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian adalah sebagai berikut:
(1) Untuk mengetahui adanya perlindungan secara hukum terhadap seseorang/ barang siapa yang berstatus sebagai tersangka pada saat penyidikan.
(2) Untuk mengetahui apa saja hak tersangka dan pelaksanaan haknya pada saat dilakukan penyidikan.
(3) Untuk mengetahui tindakan yang dilakukan oleh penyidik pada saat pemeriksaan tersangka guna mendapatkan keterangan.
D. Manfaat Penelitian
A Manfaat Teoritis
a. Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan tambahan terhadap kajian keilmuan hukum.
b. Diharapkan karya tulis ini dapat menambah literatur, khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap tersangka pada saat penyidikan di kepolisian.
c. Untuk menambah pengetahuan/wacana mengenai fenomena hukum baru yang belum diatur secara konkret dan spesifik dalam suatu aturan hukum nasional, dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan hokum terhadap tersangka pada saat penyidikan di kepolisian.

B Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat
Agar masyarakat lebih mengenal proses penyidikan di kepolisian, dan mengerti akan hak-haknya apabila berhadapan dengan proses hukum di kepolisian.

b. Bagi Pemerintah
Agar pemerintah dapat segera melakukan reformasi total di lembaga kepolisian, dan dapat memberikan regulasi yang jelas kepada kepolisian dalam pelaksanaan tugasnya agar tidak bersinggungan dengan hak tersangka

c. Bagi Kepolisian
Agar Polri memahami hak tersangka pada saat penyidikan, dan tetap menjung tinggi Hak Asasi Manusia. Dan juga dapat menjadi rekomendasi dalam proses reformasi kea rah yang lebih baik di dalam tubuh POLRI.

E Metode Penelitian
Pada dasarnya setiap penulisan ilmiah harus ditulis berdasarkan fakta-fakta ilmiah yang diperoleh dari hasil penelitian yang mendalam dan data tersebut dapat dipertanggung jawabkan isinya
Guna membahas suatu permasalahan harus dengan menggunakan metode-metode tertentu sesuai dengan materi yang dikehendaki dalam penyusunan skripsi ini. Di dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian hukum empiris. Yaitu jenis penelitian hukum yang menghimpun data dari fakta-fakta yang terjadi di lapangan sehingga data-data yang dikumpulkan bersifat objektif dan dapat dipertanggung jawabkan.

1. Metode Pendekatan (approach)
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan yuridis sosiologis, karena yang ingin diketahui yaitu mengenai perlindungan hukum bagi tersangka pada saat penyidikan di kepolisian.

2. Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian memerlukan data-data yang akan dijadikan acuan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Pengumpulan data sendiri dimaksudkan agar memperoleh bahan-bahan yang relevan, akurat, dan terpercaya. Penggunaan metode dan teknik yang tepat akan memberikan kemudahan bagi peneliti dalam melangkah, menganalisa data-data yang masuk. Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara:
a. Wawancara (interview)
Metode wawancara merupakan salah satu teknik mengumpulkan data dan informasi. Wawancara ditujukan langsung kepada narasumber, dengan maksud untuk memperoleh penerangan dan kejelasan berdasarkan pendapat dari subjek yang diwawancarai.
b. Pengamatan/observasi (observation)
Pengamatan dilakukan secara langsung dan sistematis mengenai fenomena sosial dan gejala-gejala yang ada pada kehidupan masyarakat untuk dianalisa dalam proses penulisan skripsi ini.
c. Studi pustaka
Yaitu usaha untuk memperoleh referensi dengan cara menganalisa pendapat ahli dari berabagai literatur serta sumber lainnya yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan

3. Metode Analisa Data
Di dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu data atau keterangan yang berupa uraian ataupun pembahasan yang berhubungan dengan pokok pembahasan skripsi ini. Dengan arahan deduktif dan induktif yaitu menguraikan dan menggambarkan hasil-hasil data yang diperoleh dalam suatu rumusan.

F Sistematika Penulisan
Agar lebih mudah memahami hasil penelitian dan pembahasannya yang tertuang dalam skripsi ini, penulisan skripsi ini selanjutnya dibagi dengan sistematika sebagai berikutt:
– Bab I : Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang permasalahan yang diangkat, permasalahan yang akan dibahas, tujuan penelitian dan manfaat penulisan, metode yang digunakan dalam penelitian, serta sistematika penulisan skripsi.
– Bab II : Didalamnya berisi materi mengenai tinjauan umum tentang perlindungan hukum terhadap tersangka, tinjauan umum tentang penyidikan, tugas, pokok, fungsi dan kewenangan penyidik, serta hak asasi tersangka dalam proses penyidikan.
– Bab III : Pada bab pembahasan ini dipaparkan data-data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan, di dalamnya meliputi praktek perlindungan hukum terhadap tersangka dan pelaksanaan haknya serta tindakan penyidik pada saat pemeriksaan.
– Bab IV : Bab ini merupakan bab penutut, berisi kesimpulan dari hasil pembahasan serta saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketentuan Pesangon

  Ketentuan pemberian pesangon jika terjadi PHK Dalam Pasal 154A Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan alasan-alasan terjadinya Pemutusan Hub...