Jumat, 24 Juli 2015

Tinjauan Umum tentang Penyidikan

Pasal 1 butir (2) KUHAP “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”[1]

Rumusan itu mengandung sekurang-kurangnya tiga unsur sebagai kata kunci, yakni (1) bukti yang dicari dan dikumpulkan, (2) tindak pidana menjadi terang, dan (3) tersangka ditemukan.

Kesejajaran makna di atas dengan penyilidikan masih tampak tetapi beratnya sudah berbeda. Pasal 1 butir (5) KUHAP, “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”[2]

Sekurang-kurangnya ada empat unsur pokok di dalam kesatuan arti penyidikan itu, yakni (1) orang/pejabat yang menjadi penyelidik, (2) tindakan mencari dan menemukan, (3) dugaan peristiwa, dan (4) berlanjut/ tidak ke tahap penyidikan.

Mencari di dalam penyelidikan bertujuan supaya menemukan yang kemudian menjadi mengumpulkan di dalam penyidikan, karena sudah ada yang ditemukan, tetapi belum terkumpul. Untuk itu, berarti penyelidik tidak ditugaskan mengumpul, tetapi ia sudah tahu itu ada. Walau mungkin masih tercerai-berai, tentu saja mengumpul itu bisa dan baik dilakukan, walau bukan yang utama. Sasaran temuan penyelidik adalah dugaan delik telah meningkat menjadi terang, ada delik dan ada tersangka di dalam penyidikan. Terang, karena sudah ada terkumpul bukti kualitas hukum, yang sebelumnya dalam penyelidikan masih sedang dicari-cari.
Pasal 1 butir (1) KUHAP, “Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Berdasar pasal tersebut penyidik adalah: (1) Peajabat Polisi Negara Republik Indonesia, (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.”[3]

Berdasar PP Nomor 27 Tahun 1983, maka penyidik terdiri dari: (1) penyidik, (2) jaksa, dan (3) pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Leden Marpaung, SH berpendapat mengenai pengaturan penyidik pada KUHAP dan PP Nomor 27 Tahun 1983:

Dalam hal aparat ‘penyidik’ sebagaimana diatur Pasal 1 butir (1) tercantum dua penyidik, yakni pejabat polisi Negara RI dan atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu, Pasal 1 butir (1) KUHAP jo. Pasal 6 ayat (1) KUHAP. Rumusan tersebut, seyogianya ditambah dengan ‘aparat Negara tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undang’. Dengan demikian, rumusan itu menjadi lengkap dan tepat, sesuai dengan kenyataan sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983.[4]

Dengan adanya PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), akan membantu pelaksanaan Penyidik Polri dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.

Nikolas Simanjuntak, dalam bukunya  “Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum”, menjabarkan PPNS yang bisa menjadi penyidik, antara lain:[5]

No
Nomor UU
Materi Pokok Masalah Pidana
Pejabat Penyidik
1
5 Tahun 1983Zona Ekonomi Eksklusif IndonesiaPerwira TNI AL
2
5 Tahun 1990Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem (SDHE)1. Perwira TNI AL2. PPNS bidang SDHE
3
5 Tahun 1992Benda Cagar BudayaPPNS Diknas
4
14 Tahun 1992Lalu LintasPPNS Dishub
5
21 Tahun 1992Pelayaran1. Perwira TNI AL2. PPNS Dishub
6
9 Tahun 1992ImigrasiPPNS Imigrasi
7
23 Tahun 1997Pengelolaan Lingkungan Hidup1. Perwira TNI AL2. PPNS LH
8
22 Tahun 1997NarkotikaPPNS di beberapa Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya mengurus bahan untuk narkotika
9
41 Tahun 1999KehutananPPNS Kehutanan
10
16 Tahun 2000Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara PerpajakanPPNS Ditjen Pajak
11
18 Tahun 2000Perubahan Kedua atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang MewahPPNS Ditjen Pajak
12
26 Tahun 2000Pengadilan Hak Asasi Manusia1. Penyidik Ad Hoc2. Jaksa Agung RI
13
20 Tahun 2001Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiJaksa Agung RI
14
19 Tahun 2002Hak CiptaPPNS Ditjen HAKI
15
30 Tahun 2002Komisi Pemberantasan KorupsiPenyidik KPK
16
25 Tahun 2003Tindak Pidana Pencucian UangPenyidik Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
17
31 Tahun 2004Perikanan1. Perwira TNI AL2. PPNS Perikanan
18
32 Tahun 2004Pemerintahan Daerah (Pidana Perda)Tamtib/Tibun
19
17 Tahun 2006Kepabeanan (Bea Cukai)PPNS Bea Cukai
20
11 Tahun 2008Informasi dan Transaksi ElektronikPPNS bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
21
18 Tahun 2008Pengelolaan SampahPPNS bidang Persampahan
Namun yang perlu menjadi catatan pada tabel di atas ada beberapa undang-undang yang telah mengalami perubahan, diantaranya sebagai berikut:
–    Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
–    Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang keimigrasian  diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
–    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diubah  menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
–    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Ruang lingkup wewenang, tugas, dan kewajiban penyidik menjadi tampak lebih luas jangkauannya daripada penyelidik. Prosedur tetap bagi penyidik tidak diatur dalam satu bab tersendiri di dalam KUHAP, tetapi aturan itu ada tersebar di berbagai pasal dan ayat yang relevan dengan tindakan yang akan dilakukannya. Namun, dari makna pengertian itu menampakkan adanya penyelidikan menjadi bagian tugas perbantuan dari dan kepada penyidikan.

“Nama resmi untuk penyidik disebut dengan sandi ‘reserse’, tetapi dalam praktiknya, yang diketahui masyarakat umum tentang reserse berarti polisi urusan kriminal atau atau kejahatan berat.”[6]

Dari definisi-definisi yang telah dijabarkan, semua polisi yang orangnya terlembaga di dalam kepolisian RI (Polri) adalah ‘boleh’ dan bisa menjadi penyelidik, bahkan mungkin boleh dikatakan bahwa fungsi utama menjadi seorang polisi adalah untuk menyelidik. Di dalam ketentuan yang berlaku saat ini, Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dinyatakan bahwa tujuan Polri adalah,Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.[7]

Bilamana saja terjadi dugaan tidak tertib dan tegaknya hukum yang dinyatakan dalam undang-undang itu, maka tentulah menjadi pertama-tama tugas dari setiap orang yang menjadi Polisi RI, dan tentu itu bermakna sangat luas, menjangkau tidak hanya untuk pelaksanaan hukum acara pidana. Tetapi, dugaan tidak tertib dan tegaknya hukum itu wajib bagi setiap polisi untuk menyelidikinya dengan tanpa melanggar HAM.

Sadjijono dalam bukunya Memahami Hukum Kepolisian menjabarkan kewajiban dan larangan bagi setiap anggota Polri,
–          Kewajiban anggota POLRI dalam kehidupan bernegara dan bermasyarkat
  1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah;
  2. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan kepentingan Negara;
  3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  4. Menyimpan rahasia Negara dan/atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;
  5. Hormat-menghormati antara pemeluk agama;
  6. Menjunjung tinggi hak asasi manusia;
  7. Mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum;
  8. Melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan/atau merugikan Negara/pemerintah;
  9. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat;
  10. Berpakaian rapi dan pantas.
–          Kewajiban anggota POLRI dalam pelaksanaan tugas
  1. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat;
  2. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan masyarakat;
  3. Menaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggungjawab;
  5. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  6. Menaati segala peraturan perundan-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku;
  7. Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya;
  8. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugas;
  9. Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya;
  10. Mendorong semangat bawahannya untuk meningkatakan prestasi kerja;
  11. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan karier;
  12. Menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang;
  13. Menaati ketentuan jam kerja;
  14. Menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik-baiknya;
  15. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.
–          Larangan anggota POLRI dalam kehidupan bernegara dan bermasyarkat
  1. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat Negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  2. Melakukan kegiatan politik praktis;
  3. Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan;
  4. Bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan Negara;
  5. Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;
  6. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
  7. Bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan;
  8. Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang;
  9. Menjadi perantara/makelar perkara;
  10. Menelantarkan keluarga.
–          Larangan anggota POLRI dalam pelaksanaan tugas
  1. Membocorkan rahasia kepolisian;
  2. Meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan;
  3. Menghindarkan tanggungjawab dinas;
  4. Menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi;
  5. Menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya;
  6. Mengontrakkan/menyewahkan rumah dinas;
  7. Menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit;
  8. Mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak;
  9. Menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi;
  10. Berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani;
  11. Memanipulasi perkara;
  12. Membuat opini negatif tentang rekan sekerja, pimpinan, dan/atau kesatuan;
  13. Mengurusi, mensponsor, dan/atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  14. Mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materiil perkara;
  15. Melakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya;
  16. Melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayaninya;
  17. Menyalahunakan wewenang;
  18. Menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan;
  19. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
  20. Menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas;
  21. Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, meminjamkan, atau menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas secara tidak sah;
  22. Memasuki tempat yang dapat mencemarka kehormatan atau martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali karena tugasnya;
  23. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;
  24. Memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.[8]

[1]   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[2] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[3] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP
[4] Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 78.
[5] Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Cetakan I, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, h. 56-57.
[6] Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Cetakan I, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, h. 54.
[7] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[8] Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, Cetakan I, Laksbang PresIndo, Yogyakarta, 2010, h. 87-91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketentuan Pesangon

  Ketentuan pemberian pesangon jika terjadi PHK Dalam Pasal 154A Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan alasan-alasan terjadinya Pemutusan Hub...